Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wali Kota Cimahi Atty Suharti Tochija dan suaminya Itoch Tochija sebagai tersangka pada akhir tahun lalu. Pasangan suami istri itu dijerat dalam kasus dugaan suap pemulusan ijon proyek pembangunan tahap II Pasar Atas Cimahi.
Bagi KPK, kasus ini menjadi bukti, kalau politik dinasti di daerah masih kuat. Sebab, Itoch diketahui merupakan Wali Kota Cimahi dua periode, yakni 2002-2007 dan 2007-2012. Kekuasaan itu kemudian beralih ke istrinya Atty untuk periode 2012-2017.
Advertisement
"Suaminya adalah Wali Kota Cimahi dua periode kemudian digantikan istrinya. Istrinya itu hampir selesai (periode pertama) mau pemilihan lagi," ucap Ketua KPK Agus Rahardjo di Jakarta, Minggu 4 Desember 2017.
Karena itu, Agus menyarankan masyarakat tidak memilih pemimpin daerah yang berasal dari dinasti politik. "Ke depan masyarakat harus mempertimbangkan betul dalam memilih kepala daerah. Harapan kita kalau ada kepala daerah yang sering disebut dinasti seperti ini harus dipertimbangkan betul-betul apakah penerusnya kompeten dan berintegritas tinggi," kata Agus.
"Pengalaman kami di KPK, ternyata generasi penerus dari dinasti tadi dalam banyak kesempatan dikendalikan oleh orang yang sebelumnya memerintah," tegas Agus.
Ucapan Agus memang layak diwaspadai, karena Koalisi Pilkada bersih menemukan setidaknya 12 calon kepala daerah di 11 daerah berasal dari dinasti politik dan akan mengikuti Pilkada 2017.
"Fenomena politik dinasti akan terjadi dalam pilkada serentak pada 15 Februari 2017. Sebanyak 12 calon kepala daerah di 11 daerah diketahui, berasal dari dinasti politik yang telah terbangun di daerahnya masing-masing," kata Almas Sjafrina dalam keterangan tertulis, Sabtu 14 Januari 2017.
Calon kepala daerah dari dinasti politik itu menurut Koalisi Pilkada bersih adalah Andika Hazrumy (calon Wakil Gubernur Banten), Hana Hasanah Fadel (calon Gubernur Gorontalo), Dodi Reza Alex Noerdin (calon Bupati Musi Banyuasin), Adam Ishak (calon Wakil Bupati Mesuji), Parosil Mabsus (calon Bupati Lampung Barat).
Selanjutnya Atty Suharti (calon Wali Kota Cimahi), Siti Rahma (calon Bupati Pringsewu), Dewanti Rumpoko (calon Wali Kota Batu), Karolin Margret Natasa (calon Bupati Landak), Noormiliyani A. S. (calon Bupati Barito Kuala).
Kemudian Rahmadian Noor (calon Wakil Bupati Barito Kuala) dan Tuasikal Abua (calon Bupati Maluku Tengah).
"Andika Hazrumy bahkan memiliki hubungan kekerabatan dengan terpidana kasus korupsi yang saat ini masih menjalani masa tahanan, yaitu Atut Chosiyah," ungkap Almas.
Andika sebelumnya menjabat sebagai anggota DPR 2014-2019 dicalonkan DPD Partai Golkar Banten yang diketuai Tatu Chasanah, adik kandung Atut Chosiyah.
Sementara di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, pasangan Noormiliyani dan Rahmadian Noor merupakan kerabat dari Hassanudin Murad, Bupati Barito Kuala yang sudah tidak dapat mencalonkan diri kembali karena telah menjabat dua periode jabatan.
Noormiliyani merupakan istri Hasanuddin Murad yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua DPRD Kalimantan Selatan, sedangkan Rahmadian Noor merupakan keponakan Hasanuddin Murad yang sebelumnya menjabat sebagai anggota DPRD Barito Kuala. Keduanya dicalonkan Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Selanjutnya Atty Suharti adalah petahana calon Wali Kota Cimahi yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas kasus penerimaan suap sebesar Rp 500 juta terkait proyek pembangunan tahap dua Pasar Atas Baru Cimahi.
Atty merupakan istri dari Wali Kota Cimahi 2002-2007 itu dicalonkan Partai Nasdem, Golkar, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
"Persoalan utama dari dinasti politik adalah penguasaan sumber daya dan dampaknya yang dapat melemahkan check and balance dalam pemerintahan terutama bila dinasti telah mencengkeram eksekutif dan legislatif. Persoalan tersebutlah yang membuat dinasti dekat dengan korupsi," tambah Almas.
Dinasti Politik Pertama
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menyebut, berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sejak 2013 tercatat ada 58 dinasti politik di Indonesia. Ia mengatakan, yang sangat fenomenal adalah Ratu Atut Chosiyah.
"Kalau kita merujuk data Kementerian Dalam Negeri tahun 2013, ada 58 dinasti politik. Tentu yang paling fenomenal adalah Banten karena suaminya, anaknya, adiknya, dan keluarga-keluarganya masuk ke dalam politik baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif," ungkap Adnan dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 7 Januari 2017.
Ia menjelaskan, terkenalnya Dinasti Atut mungkin karena letak Banten dekat dari pusat pemerintahan di Ibu Kota DKI Jakarta. Kini, Atut mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita Tangerang karena dugaan kasus korupsi.
Adnan mengatakan, dengan dinasti politik, sangat mungkin terjadinya korupsi. "Dinasti politik lebih cenderung korupsi dibanding politisi lain biasa," kata Adnan.
Dia menambahkan, sejak 2004 ada sekitar 350 kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masuk dalam dinasti politik. Tetapi jumlah tersebut sudah berkurang dengan adanya penangkapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kemudian masuk daftar OTT KPK atau ditetapkan tersangka sekitar 78 sampai yang terakhir Bupati Klaten," tutur dia.
Angka itu, ia melanjutkan, akan terus bergerak seiring dengan berjalannya waktu dan tidak adanya yang bisa menghentikan dinasti politik ini. "Angka itu akan terus bergerak mengikuti kekuasaan yang tidak pernah bisa di-exercise oleh pihak mana pun sehingga cenderung korupsi," tukas Adnan.
Namun begitu, dari sekian banyak dinasti politik, yang pertama menerapkan dinasti politik di Indonesia menurut Koordinator Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng adalah Kabupaten Kediri.
Menurutnya, Kediri adalah Kabupaten pertama yang memperlihatkan dinasti politik di Indonesia. Bahkan, ia mengklaim, dinasti politik di Kediri lebih lama dari Ratu Atut Chosiyah.
"Dari 1999 sampai sekarang dipimpin oleh satu keluarga. 1999-2009 Sutrisno dua periode, kebetulan punya dua istri. 2009, dua istri ini berkontestasi," kata Endi di Jakarta, Sabtu 7 Januari 2017.
Ia menerangkan, saat kedua istri Sutrisno berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), yang menang adalah istri pertama. Dan sekarang, istri pertama Sutrino memasuki periode kedua.
"Saya takutnya periode berikutnya istri siri (kedua). Ini yang sesungguhnya dinasti politik politik pertama di Indonesia," beber dia.
Advertisement
Mencegah Dinasti Politik
Dari sekian banyak dinasti politik, terdapat pula ragam pola dinasti politik yang diterapkan di Indonesia. Bagi Endi, setidaknya ada tiga pola dinasti politik yang ada di Indonesia.
"Dari 3 model ini yang ada di Indonesia, tiga-tiganya adalah dinasti politik karena kekuasaan menggumpal pada satu atau dua keluarga saja," ungkap Endi di Jakarta, Sabtu 7 Januari 2017.
Dinasti politik pertama, menurutnya, polanya berbentuk seperti arisan keluarga. Artinya, satu keluarga secara bergiliran memegang tampuk pimpinan di suatu daerah.
Penggambarannya, satu keluarga memimpin sebuah daerah tanpa digantikan oleh pihak lain. Alias kepemimpinannya tanpa ada jeda. Pola seperti ini seperti regenerasi. Contoh nyata adalah seperti yang terjadi di Kabupaten Kediri.
Pola kedua dinasti politik adalah dalam bentuk lintas kamar dengan cabang kekuasaan. Endi mencontohkan, sang kakak menjadi bupati daerah tertentu, lalu sang adik Ketua DPRD, dan anggota keluarganya yang lain menduduki posisi Kepala Dinas yang strategis.
"Terjadi di Aceh, misalnya. Jadi, kontrol, check and balance tidak terjadi," ujar dia.
Pola yang terakhir adalah dinasti politik lintas daerah. Ilustrasinya, satu keluarga memegang jabatan penting di berbagai daerah yang berbeda.
"Ini yang saya rasa paling kuat karena dia sudah bisa kuat dengan keluarganya sendiri. Bapaknya gubernur di mana, anaknya gubernur di mana. Sulawesi Utara contoh yang cukup kuat dan juga Sulawesi Selatan," tandas Endi.
Bupati Klaten Sri Hartini yang tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian membuka borok dinasti politik di Indonesia. Penangkapan Sri Hartini sekaligus menambah daftar pelaku dinasti politik yang terjerat korupsi.
Guna menyetop laju dinasti politik, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan KPK medorong penanganan pendanaan dana partai politik. Salah satunya adalah pemerintah memberikan dana APBN untuk parpol agar bisa dilakukan audit.
"ICW dan KPK mendorong penanganan pendanaan parpol. Itu yang jadi sasaran utama, agar tidak ada lagi dinasti politik. Kalau selama ini dana yang masuk ke parpol (dari APBN) tidak hanya 1 persen, kita dorong supaya lebih besar," kata Adnan Topan.
Selain itu, lanjutnya, saat ini parpol juga mulai dikuasai pengusaha. Akibatnya, parpol sudah diibaratkan sebagai perusahaan yang kekuasaan turun-temurun agar pendanaan mereka jelas. Inilah yang membuka peluang korupsi dalam dinasti politik terbuka.
Adnan menyebut, tidak adanya pendanaan yang jelas dan tidak diketahui oleh masyarakat sehingga muncullah dugaan korupsi dalam dinasti politik.
"Masyarakat tidak mengetahui sumber pendanaan partai politik, karena kadang-kadang politisi dan pengusaha hubungannya sangat erat. Inilah yang menimbulkan pengusaha dengan politisi melakukan hubungan intens, mereka pengusaha, mereka juga politisi," papar Adnan.
Namun, semuanya kembali terpulang kepada pemilih pada Pilkada 2017. Jika pemilih makin cerdas, maka kehadiran kepala daerah yang berasal dari dinasti politik akan makin tergerus. Kecerdasan itu pula yang akan bisa melihat mana kepala daerah dari dinasti politik yang berpotensi merusak dibandingkan manfaatnya.