Liputan6.com, Jakarta Jaringan Kemandirian Nasional (JAMAN) menilai regulasi terbaru pemerintah tentang pertambangan Minerba merupakan jalan terbaik yang harus dihormati oleh semua pihak, khususnya pelaku usaha pertambangan.
Seperti diketahui, pada 11 Januari 2017 Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Ke-4 atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). PP teranyar yang merupakan turunan dari UU No 4/2009 tentang Pertambangan Minerba ini pada intinya mendorong terciptanya nilai tambah mineral logam melalui pengolahan dan pemurnian, memberikan manfaat optimal bagi negara, serta memberikan kepastian hukum dan berusaha bagi pelaku usaha pertambangan minerba.
Advertisement
Terbitnya PP nomor 1 tahun 2017 di atas juga dilengkapi oleh dua Peraturan Menteri (Permen) ESDM, yaitu Permen nomor 5/2017 tentang Pengolahan dan Pemurnian Mineral di dalam Negeri, dan Permen nomor 6/2017 tentang Persyaratan Ekspor Mineral.
Ketua Umum JAMAN, Iwan Dwi Laksono mengatakan pihaknya mencatat beberapa poin penting dalam PP 1/2017, yaitu lebih realistis, karena pengajuan perpanjangan IUP/IUPK kini diubah menjadi paling cepat 5 tahun dari sebelumnya yang hanya 2 tahun. Selain itu, divestasi saham hingga 51% dapat dilakukan secara bertahap.
“Dalam PP tersebut juga diatur mengenai harga patokan penjualan minerba, dan ini kami nilai merupakan bentuk kehadiran negara dalam mengendalikan sektor tersebut, sekaligus sebagai upaya mengoptimalkan penerimaan negara”, ungkap Iwan.
Freeport Silahkan Pilih Opsi
Iwan menambahkan, poin yang paling menarik dalam PP 1/2017 adalah penghapusan ketentuan bahwa pemegang KK diperbolehkan mengekspor dalam jumlah dan waktu tertentu. Selanjutnya, sesuai Permen nomor 6/2017, ekspor mineral hanya diberikan kepada pemegang IUP/K.
“Artinya, PT Freeport Indonesia, yang sampai kini merupakan pemegang Kontrak Karya (KK), tidak boleh lagi mengekspor konsentratnya, kecuali mereka mengubah KK menjadi IUPK,” jelas Iwan.
Menurut Iwan, langkah di atas merupakan jalan terbaik untuk mengakhiri pro-kontra perpanjangan ijin ekspsor konsentrat oleh PT Freeport Indonesia (PTFI). PP dan dua Permen ESDM di atas juga menutup peluang terjadinya kolusi antar pemerintah dan pihak pemegang KK.
“PTFI kini tidak lagi dapat berlindung atas nama KK. Opsi dari pemerintah sudah tegas dan fair, silahkan memilih dan menanggung konsekuensinya,” ujar Iwan.
Lebih lanjut Iwan menambahkan bahwa dalam format IUP, Negara merupakan pihak pemberi ijin, dan dapat menetapkan berbagai macam persyaratan yang harus dipenuhi pihak pengusaha tambang. Posisi negara berada di atas, tidak sejajar seperti dalam format KK. Dengan transparansi terhadap seluruh persyaratan pemberian ijin, maka potensi moral hazard dapat ditekan secara maksimal.
Dalam format KK posisi negara yang diwakili oleh pemerintah, sangat tidak menguntungkan karena berdiri sejajar dengan pihak penambang. Materi dalam KK dicapai melalui kesepakatan kedua pihak. Posisi yang sejajar tersebut membuat negara kehilangan kemandiriannya. Format KK juga dinilai berpotensi terjadinya moral hazard.
Selain soal perubahan KK menjadi IUPK, kebijakan baru yang dirilis Menteri ESDM untuk menerjemahkan visi Presiden Jokowi jelas menggambarkan komitmen untuk melanjutkan hilirisasi mineral dan tekad kuat untuk mewujudkan kedaulatan energi.
Hal itu tercermin dari keharusan bagi perusahaan pertambangan untuk membangun smelter dalam jangka waktu 5 tahun, dan akan dipastikan progresnya setiap 6 bulan oleh verifikator independen. Jika progres tidak sesuai perencanaan yang disepakati, rekomendasi ekspor akan dicabut. "Ini jelas menunjukkan ada ya konsistensi kebijakan hilirisasi," jelas Iwan.
Berikutnya, keharusan bagi perusahaan tambang asing untuk divestasi saham hingga 51 persen dalam rentang waktu 10 tahun. Artinya dalam 10 tahun ke depan kepemilikan mayoritas saham perusahaan tambang ada di tangan nasional melalui pemerintah pusat atau daerah, BUMN, BUMD, atau swasta nasional.
"Dengan demikian Indonesia akan berdaulat dalam pengelolaan energi nasional, tutup Iwan.
Seperti diketahui, perpanjangan kontrak karya PTFI yang akan berakhir pada tahun 2021 dan diusulkan diperpanjang hingga 2041 oleh PTFI, hingga kini belum terealisasi. Kendalanya adalah PTFI belum menyetujui 6 prasyarat pemerintah dalam renegosiasi perpanjangan kontrak tersebut yaitu : Kenaikan royalti, penggunaan barang dan jasa domestik, divestasi saham, pembangunan smelter, penciutan luas lahan dan perpanjangan kontrak.
Powered By:
Kementerian ESDM