Permintaan FPI Copot Beberapa Petinggi Polisi Dinilai Tak Relevan

Kapolri diharapkan bertindak proporsional dan profesional terhadap desakan FPI.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 17 Jan 2017, 09:15 WIB
Ribuan massa FPI berunjuk rasa di Mabes Polri, Jakarta, Senin (16/1). Irjen Anton Charliyan dinilai telah melakukan pembiaran dan mengakibatkan terjadinya penyerangan dan penganiayaan terhadap massa FPI oleh LSM GMBI. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Kericuhan antara Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) dan Front Pembela Islam (FPI) di Bandung 12 Januari 2017, berbuntut kritik dan desakan pencopotan terhadap Kapolda Jabar Irjen Pol. Anton Charliyan, yang juga menjadi pembina organisasi GMBI tersebut.

Selain Anton, desakan ini berbuntut kepada Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. M. Iriawan dan juga Kapolda Kalbar Irjen Pol. Musyafak.

Terkait hal itu, Ketua Setara Institute, Hendardi, mengatakan, aspirasi ketidakpuasan yang diekspresikan dalam bentuk demonstrasi dengan tuntutan pencopotan, itu sesuatu yang biasa dan dijamin konstitusi.

Namun, lanjut dia, ancaman dan ultimatum yang disebarluaskan kelompok FPI di ruang publik yang mengiringi desakan pencopotan, merupakan teror atas ketertiban sosial yang destruktif.

"Kapolri diharapkan bertindak proporsional dan profesional atas desakan FPI ini," ucap Hendardi dalam keterangannya, Senin 16 Januari 2017.

"Jika aspirasi ini dituruti, maka tesis bahwa supremasi intoleransi telah menguasai ruang publik dan memengaruhi pergantian jabatan publik akan semakin terbukti. Tindakan itu akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola organisasi negara, seperti institusi Polri," tambah dia.

Menurut dia, supremasi hukum tidak boleh ditundukkan dengan supremasi kerumunan dan supremasi intoleransi yang saat ini menguasai ruang publik. Pasalnya, supremasi hukum akan menjadi wasit yang adil bagi semua pihak.

Sementara itu, kata Hendardi, terhadap posisi Anton Charliyan yang menjadi pembina organisasi [GMBI](/2827367 ""), perlu ditegaskan bahwa bagi seorang pejabat, menjadi pembina organisasi adalah sesuatu yang wajar dan lumrah.

Dia pun menuturkan, ada banyak pejabat menjadi pembina dan pengurus organisasi kemasyarakatan, baik itu organisasi kesehatan, hobi, olahraga, maupun ormas.

"Jadi tidak ada hubungan antara kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang, kemudian dia tidak boleh menjadi pembina organisasi," tandas Herdardi.

Sepanjang, dia melanjutkan, tidak ada konflik kepentingan yang menguntungkan, maka hal tersebut sah saja.

"Jika tidak ada konflik kepentingan, maka aktif berorganisasi adalah sesuatu yang wajar," pungkas Hendardi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya