Sudah Ikut Tax Amnesty, WP Bisa Bebas dari Pemeriksaan Pajak?

Ditjen pajak menyatakan dana yang sudah masuk ke instansi penampung dana repatriasi mencapai Rp 112 triliun.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 17 Jan 2017, 18:36 WIB
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atau Ditjen Pajak ‎akan menggunakan dua pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak untuk memeriksa kembali data Wajib Pajak (WP) atas kebenaran laporan harta di program tax amnesty atau pengampunan pajak.

Dua pasal tersebut adalah pasal 18 serta pasal 13 terkait repatriasi atau pengalihan harta di luar negeri ke Negara Kesatuan RI.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Ken Dwijugiasteadi mengatakan, program tax amnesty akan segera berakhir pada 31 Maret 2017. Setelah itu, tax amnesty dipastikan tidak akan ada lagi di Indonesia.

"Tax amnesty akan pergi setelah 31 Maret 2017 dan tidak akan pernah kembali lagi untuk selamanya. Banyak yang beranggapan, sesudah tax amnesty tidak boleh diapa-apain atau tidak bayar pajak lagi," jelas Ken saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR,di Gedung Komisi XI DPR, Jakarta, Selasa (17/1/2017).

Akan tetapi, Ken mengingatkan masih ada dua pasal di UU Pengampunan Pajak yang akan dipakai sebagai dasar pemeriksaan data di tahun-tahun mendatang. ‎Pertama, pasal 13 yang mencantumkan perlakuan harta yang tidak di repatriasi sesuai komitmen sampai batas waktu yang ditentukan.  

Pada ayat (4), menyebut Wajib Pajak (WP) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana pasal 8 ayat (6) dan atau ayat (7) berlaku ketentuan:

a. terhadap harta ‎bersih tambahan yang tercantum dalam surat keterangan diperlakukan sebagai penghasilan pada tahun pajak 2016 dan atas penghasilan dimaksud dikenai pajak dan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dan

b. uang tebusan yang telah dibayar WP diperhitungkan sebagai pengurang pajak sebagaimana dimaksud huruf‎ a

Yang dimaksud pasal 8 ‎ayat (6), WP harus mengalihkan harta ke dalam wilayah NKRI dan menginvestasikan harta tersebut paling singkat selama jangka waktu 3 tahun:

a. sebelum 31 Desember 2016 bagi WP yang memilih menggunakan tarif uang tebusan sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat 1) huruf a dan b, dan atau

b. sebelum 31 Maret 2017 bagi WP yang memilih menggunakan tarif uang tebusan sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (1) huruf c.

Sedangkan ayat (7), WP mengungkapkan harta yang berada atau ditempatkan di dalam NKRI, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), WP tidak dapat mengalihkan harta ke wilayah NKRI paling singkat selama jangka waktu 3 tahun terhitung sejak diterbitkannya surat keterangan.

"Jadi uang repatriasi yang tidak masuk ke Indonesia sampai 31 Desember 2016 dianggap sebagai Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana tertuang di pasal 13," tegas Ken.

Dia mengatakan, dari total komitmen repatriasi yang dideklarasikan di Surat Pernyataan Harta (SPH) tax amnesty sebesar Rp 141 triliun, yang masuk ke instansi penampung dana repatriasi (gateway) sampai sekarang ini mencapai Rp 112 triliun.

"Masih ada sisa Rp 29 triliun. Ini yang akan kita lihat apakah kesulitan pada waktu mau masuk atau tidak jadi masuk. Kalau tidak jadi masuk, kena tarif deklarasi 4 persen di periode I, sebesar 6 persen di periode II, dan 10 persen ‎di periode III," jelas Ken.

‎Sementara itu, Ken mengatakan, kedua, pasal 18 UU Pengampunan Pajak. Pasal 18 UU Tax Amnesty menyebutkan, dalam hal WP telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.

Dalam hal:

a. Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir; dan

b. Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,

atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

3. Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200 persen (dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.

4. Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

"Ke depan, WP akan di

challenge

. Kalau ditanya apakah tidak diutak atik lagi setelah tax amnesty, kita ada pasal 18 dan pasal 13‎. Kalau tidak bergerak juga dan kita harus memulai program tegas, sebetulnya pasal 13 dan 18 akan kita lakukan dalam UU Tax Amnesty," ujar Ken.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya