Suap Jual Beli Jabatan, KPK Perpanjang Penahanan Bupati Klaten

Perpanjangan penahanan Sri Hartini dan Suramlan terhitung sejak 20 Januari sampai 28 Februari 2017.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 18 Jan 2017, 15:37 WIB
Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah saat kofrensi pers di gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/12). KPK menjerat Bupati Nganjuk Jawa Timur, Taufiqurahman sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. (Liputan6.com/Helmi Affandi)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperpanjang penahanan terhadap dua tersangka kasus dugaan jual beli jabatan di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klaten, Jawa Tengah, Sri Hartini (SHT) dan Suramlan atau Sul. Perpanjangan penahanan terhitung sejak 20 Januari sampai 28 Februari 2017.

"Hari ini penyidik melakukan perpanjangan tahanan selama 40 hari untuk tersangka Sul dan SHT," ujar juru bicara KPK, Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Rabu (18/1/2017).

Dua orang tersebut telah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut di Gedung KPK sebagai tersangka terkait dugaan suap promosi dan mutasi jabatan di lingkungan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Saat keluar dari Gedung KPK, HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, keduanya tak mau membuka suara sedikit pun di hadapan awak media.

KPK resmi menetapkan Bupati Klaten Sri Hartini sebagai tersangka kasus dugaan suap jual-beli jabatan terkait rotasi sejumlah jabatan di Pemkab Klaten. Selain Sri, KPK menetapkan Kepala Seksi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Dinas Pendidikan Klaten, Suramlan,‎ ‎sebagai tersangka.

Sri, bupati yang diusung PDIP, diduga menerima suap sekitar Rp 2 miliar lebih, US$ 5.700, dan 2.035 dolar Singapura dari para pihak yang "memesan" jabatan tertentu.

Sebagai penerima suap, Sri dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Sedangkan, kepada Suramlan selaku terduga penyuap, KPK menyangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya