KOLOM: Pembatasan Umur Pemain Belum Perlu

Pembatasan umur pemain untuk kompetisi di Indonesia mengemuka berdasarkan hasil kongres tahunan PSSI di Bandung.

oleh Liputan6 diperbarui 20 Jan 2017, 08:00 WIB
kolom Bola Asep Ginanjar (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Harapan itu akhirnya sirna. Selama bertahun-tahun, bahkan sejak bergabung dengan tim U-17 pada 2009, Julian Green memendam asa berada di tim utama Bayern Muenchen. Tentu saja bukan untuk sekadar jadi pemanis, melainkan tampil sebagai pemain inti seperti para jebolan tim junior Bayern sebelumnya macam Thomas Mueller dan David Alaba.

Hingga awal musim ini, hasrat Green masih menggebu. "Aku telah bermain di sini sejak berumur 14 tahun. Bayern selalu menjadi klubku. Aku tumbuh di dekat Muenchen. Itu sebabnya aku sejak kecil sangat mengidolakan Bayern. Sangat penting bagiku untuk bisa berhasil di sini. Aku tahu ini berat, namun tak ada yang tak mungkin," terang pemain yang membela timnas Amerika Serikat di Piala Dunia 2014 tersebut.

Akan tetapi, pada akhirnya, bab Bayern Muenchen harus ditutup Green lebih awal. Hanya beberapa hari jelang Natal tahun lalu, dia memastikan bergabung dengan klub Bundesliga 2, VfB Stuttgart. Sebuah pilihan sulit namun tak terhindarkan demi perkembangan kariernya ke depan.

Transfer itu tak hanya menyakitkan bagi Green, tetapi juga Uli Hoeness, Presiden Bayern Muenchen. Lagi-lagi talenta yang dibina sejak lama gagal menapaki jejak Alaba, Mueller, dan Philipp Lahm. Sebelumnya, Pierre-Emile Hoejberg hengkang ke Southampton dan Sinan Kurt bergabung dengan Hertha BSC.

Pemain Bayern Munchen, Julian Green, usai mencetak gol ke gawang Inter Milan, pada laga lanjutan International Champions Cup 2016, di Charlotte, AS, Sabtu (30/7/2016). (AFP/Nicholas Kamm).

Bukan rahasia, Hoeness begitu rindu melihat pemain-pemain dari akademi naik kelas dan tim-tim junior Bayern berjaya. Kerinduan itu bahkan sudah menjadi obsesi. Demi mewujudkannya, Die Roten rela mengeluarkan uang 70 juta euro demi membangun fasilitas baru di dekat Stadion Allianz Arena untuk sektor junior Bayern. Rencananya, markas baru bagi semua tim junior Bayern itu akan bisa dipakai pada awal musim depan.

Hoeness resah. Saat umur Lahm terus merambat ke masa pensiun, tak ada jua talenta muda dari tim junior yang mentas. Pemain terakhir yang sanggup promosi dan menjadi pemain inti hingga kini adalah Alaba yang diorbitkan Louis van Gaal pada 2009, tahun ketika Green bergabung dengan tim U-17 Bayern.

Hoeness mendambakan regenerasi berkelanjutan, namun dia tak bisa memaksakan diri. Bagaimanapun, tidak mungkin memaksakan para talenta muda membela tim utama dengan begitu saja. Itu tak ubahnya menggadaikan prestasi, hal yang pastinya tak mau dilakukan oleh Hoeness dan Bayern.


Regenerasi yang Dipaksakan

Cristian Gonzales (Liputan6.com/Rana Adwa)

Regenerasi memang sulit. Pemain muda bisa jadi melimpah, kesempatan pun bisa saja diberikan, namun belum tentu para pemain itu punya kualitas yang sesuai dengan standar klub yang bersangkutan. Belum tentu pula mereka sanggup menghadapi tuntutan kompetisi profesional. Memainkan pemain muda tanpa kualitas baik tentulah perjudian besar yang berisiko tinggi.

Perjudian itu pula yang mungkin harus dilakukan klub-klub Indonesia di kancah Indonesia Super League (ISL) 2017. Seperti diungkapkan dalam kongres tahunan di Bandung, 8 Januari lalu, PSSI menghendaki klub-klub ISL mengontrak minimal lima pemain U-23 dan wajib memainkan tiga di antaranya sebagai starter.

Untuk sekadar gugur kewajiban, mudah saja aturan itu dipenuhi. Namun, demi menjaga kualitas tim dan kompetisi, tentu tidak mudah menemukan pemain U-23 yang memang pantas menjadi starter. Jangankan tiga pemain, satu atau dua pun bisa jadi sulit bukan main. Akan sangat ironis dan diskriminatif bila para pemain senior dengan kualitas lebih baik harus berada di bangku cadangan karena tak kebagian tempat di tim utama cuma gara-gara tiga slot harus diisi pemain U-23 dengan kualitas di bawah mereka.

Indra Thohir (Persib.co.id)

Bila benar-benar diberlakukan, kebijakan ini tak ubahnya memaksakan regenerasi. Padahal, regenerasi seharusnya berjalan secara alami. Pada awal 2000-an, Indra Thohir, pelatih yang mengantar Persib menjuarai Liga Indonesia I, sempat berujar, "Regenerasi bukan cuma soal tua atau muda. Pemain muda harus mendorong pemain senior keluar dari tim utama dengan kemampuannya. Walaupun tua, kalau memang masih bagus dan tak ada pemain muda yang lebih bagus, jadilah dia yang bermain."

Penyerang Sriwijaya FC, Alberto Goncalves (kanan) berusaha mengecoh bek PS TNI Wiganda Pradika pada lanjutan Turnamen Piala Bhayangkara di Stadion Si Jalak Harupat, Bandung, Minggu (20/3/2016). Sriwijaya FC unggul 2-1. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Toh, dalam draft peraturan baru PSSI untuk ISL 2017, justru masalah tua dan muda itu yang menjadi sorotan utama. Selain soal kuota pemain U-23, PSSI juga ingin membatasi pemain gaek. Dalam draft peraturan baru itu tertuang, klub-klub hanya boleh mengontrak paling banyak dua pemain yang berumur 35 tahun atau lebih.

Padahal, tidak sedikit pemain gaek yang masih prima dan menjadi andalan di klubnya. Sebutlah Cristian Gonzales. Meski sudah berumur 40 tahun, dia masih jadi tumpuan utama Arema dalam mendulang gol. Di Torabika Soccer Championship (TSC) 2016, pemain berdarah Uruguay itu masih mampu membuat 15 gol. Lihat juga Alberto Goncalves di Sriwijaya FC yang menjadi pencetak gol terbanyak dengan torehan 25 gol. Umur Beto saat ini 36 tahun.

Tak heran bila ada pihak-pihak yang menilai kebijakan baru PSSI tersebut diskriminatif. Pemain U-23, meskipun belum tentu hebat, mendapat kepastian bermain di tim inti. Sementara itu, pemain gaek, walaupun masih bersinar, mungkin harus rela tersingkir dari tim karena tak ada slot tersisa untuknya.


Tidak Mendesak

Gelandang Persib, Febri Hariyadi (kanan) menjadi bukti pembinaan pemain itu masih ada (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Terlepas dari pro dan kontra yang muncul, polemik yang mengemuka, protes yang menyeruak, setiap kebijakan tidaklah hitam-putih. Dari draft peraturan baru untuk ISL 2017, jelas terlihat PSSI ingin para pemain muda memperoleh kesempatan lebih banyak untuk unjuk gigi. Dampaknya, akan lebih banyak stok pemain muda berkualitas bagi timnas Indonesia dan akan lebih tinggi perhatian klub-klub terhadap proses pembinaan pemain muda.

Masalahnya kemudian, sudah tepatkah peraturan itu diterapkan pada saat ini? Bercermin pada TSC 2016, rasanya pembatasan pemain gaek dan keharusan memasang banyak pemain muda di starting XI bukanlah hal yang mendesak. Setidaknya, belum ada indikasi klub-klub berkutat dengan pemain-pemain gaek dan menutup pintu rapat-rapat bagi para talenta muda.

Di TSC 2016, walaupun kuota pemain asing lumayan banyak, Tak sedikit klub yang berani mengorbitkan para pemain muda. Tak sedikit pula dari para pemain muda itu yang lantas menjadi andalan dan memesona banyak pihak. Ambil contoh Febri Hariyadi (Persib), Miftahul Hamdi (Bali United), Teja Paku Alam (Sriwijaya FC), dan Ridwan Tawainella (PSM). Ini membuktikan bahwa klub-klub tak menutup kesempatan bagi pemain muda untuk bersinar. Syaratnya, tentu sang pemain harus berkualitas dan mampu memanfaatkan setiap kesempatan yang diberikan oleh pelatih.

Mengenai pemain gaek, tak bisa dimungkiri, masih cukup banyak klub yang bertumpu pada mereka. Setidaknya 14 klub menggunakan jasa pemain berumur 35 tahun ke atas sepanjang TSC 2016. Dari sekitar 20-an pemain gaek yang turun, 15 di antaranya malah tampil dalam sekurangnya 20 pertandingan.

Penyerang sayap Bali United, Miftahul Hamdi, mencetak quattrick pertama di TSC saat membawa Bali United menang 4-2 atas PS TNI di Stadion Pakansari, Bogor, Minggu (20/11/2016). (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Meski demikian, hanya Sriwijaya FC dan Persija yang bertumpu pada banyak pemain gaek. SFC mengandalkan Beto, Hilton Moreira, Firman Utina, dan M. Ridwan. Adapun di Persija, pemain berumur 35 tahun ke atas yang sering tampil adalah Ismed Sofyan, Bambang Pamungkas, dan Hong Soon-hak.

Dengan asumsi semua klub mempertahankan pemain yang dipakai saat TSC 2016, hanya empat klub yang potensial terdampak pembatasan pemain gaek di ISL 2017. Selain SFC dan Persija, dua klub lainnya adalah Persib dan Persegres. Itu artinya, kurang dari 25 persen saja dari total klub yang berpartisipasi di TSC 2016. Apakah ini sudah termasuk berbahaya? Rasanya tidak. Apalagi angka tersebut kemungkinan mengecil seiring perekrutan pemain yang tengah dilakukan klub-klub saat ini.

Atas dasar itu, kiranya pembatasan pemain gaek dan keharusan memasang tiga pemain U-23 perlu dikaji lagi demi kepentingan bersama. Lagi pula, tak ada jaminan kompetisi akan lebih ketat dan memikat dengan rerata umur pemain yang jauh lebih muda.
Regenerasi perlu difasilitasi tanpa perlu mengorbankan kompetisi. Biarkanlah regenerasi berjalan alami lewat persaingan sehat di antara semua pemain di setiap klub.

*Penulis adalah pengamat sepak bola dan komentator. Komentari kolom ini @seppginz.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya