Liputan6.com, Jakarta - Seorang lelaki memakai rompi sekuriti yang kotor karena arang duduk di lantai dua, tepat di bawah tulisan "Senen". Ia memandangi belasan mobil pemadam kebakaran di bawah.
Ia duduk termangu di sebuah meja hijau, kursi bolong yang ditambali kardus. Di belakangnya, api berkobar. Asap hitam tebal menutupi dirinya. Sekuriti itu hilang dari pandangan saat asap itu diembuskan angin.
Advertisement
Di lantai dua, di bawah tulisan "Senen" sekuriti itu masih tetap bertahan. Ia duduk dengan menempelkan masker penyaring udara ke hidungnya. Ia jadi satu-satunya orang yang masih berdiri di dekat kobaran api. Selang pemadam kebakaran tergeletak di anak tangga.
Saat didekati, mata sekuriti itu merah. Air matanya menetes, menahan perih karena asap dan luka di dalam dada. Sudah sepuluh jam ia duduk di sana.
"Saya mencoba kuat, menghadapi ini. Masih terbayang saya dan istri menaiki tangga ini setiap pagi. Istri jualan, saya berjaga," ujar Jek, sekuriti Blok 1 dan 2 Pasar Senen yang terbakar dini hari, Kamis, 19 Januari 2017.
Jek terisak. Air mata itu semakin menjadi-jadi. "Saya tidak tahu mau cerita sama siapa," kata Jek pada Liputan6.com yang coba mendekati tempat duduk Jek. Asap hitam menyengat hidung, mata pun perih. Panasnya api sangat terasa di dekat Jek duduk.
Jek memiliki dua toko di lantai tiga. Dia berjualan kaus untuk laki-laki. Lelaki bertubuh tegap itu mencoba menahan tangisnya. Ia mulai bercerita soal api yang membakar toko dan juga harapan tiga anaknya.
"Anak saya tiga orang, sekolah semua, yang gede SMA, yang kecil SD," kata dia.
Pagi tadi, Jek yang tengah lelap dibangunkan dering telepon dari temannya sesama pedagang. Ia disuruh datang segera ke Blok 1 Pasar Senen. Api sudah berkobar.
Pagi itu, rumah kontrakan Jek di Tanah Tinggi, tak jauh dari Pasar Senen, riuh. Ia bergegas memasang seragam, sepatu, rompi, dan langsung menyambar senter hitamnya. Jek membangunkan istrinya, mengajak ke pasar, mencoba menyelamatkan barang dagangan yang baru ia beli minggu kemarin.
"Cuma sampai tangga ini, saya suruh istri tunggu di bawah," katanya.
Tapi sayang, usaha Jek sia-sia. Meski sudah berlari dan bergegas menaiki tangga, saat mendekati tokonya, api langsung membesar. Sadar nyawanya terancam, Jek mundur.
"Sekitar jam 4-an lah, apinya masih di lantai 3, sudah mau dekat toko, apinya membesar, sampai sekarang saya belum ngomong sama istri di pos sana," tunjuk Jek pada pos penjagaan di bawah.
Ia belum mau beranjak dari tempatnya biasa berjaga. Meja hijau itu, sudah ia tempati selama sembilan tahun lamanya. Jek sudah menjadi sekuriti Pasar Senen sejak 2007 lalu, kebakaran demi kebakaran sudah sering terjadi di Pasar Senen ini. Namun, tak sebesar hari ini.
"Saya sering bantuin orang pas kebakaran di dekat sini, sekarang saya sendiri tak bisa nyelamatin apa-apa," tangis Jek kembali pecah.
Jek mulai agak tenang. Ia meninggalkan kursi bolong bertambal kardus yang sudah ia duduki sejak pagi.
Tubuhnya bergetar, menahan isak. Jek tak sanggup berbicara pada anak dan istrinya. Hingga jelang matahari tenggelam, Jek masih belum kuasa menemui keluarganya dan bercerita soal dagangan mereka yang hangus jadi abu, tak bersisa. Padahal, dua toko itu jadi satu-satunya tumpuan hidup keluarga kecil Jek.
Harapan Keluarga Bertumpu di Toko Pasar Senen
Modal berdagang Jek merupakan hasil menabung sekeluarga. Mereka rela hidup sangat irit agar bisa berdagang di Pasar Senen.
"Gaji selama satu tahun tidak diambil, sengaja ditabung buat modal. Susah, kami rela susah-susah selama setahun," kata Jek.
Ia dan istri mulai berdagang sejak tahun 2015 lalu. Usahanya mulai berkembang. Dari dulunya satu toko, awal 2016 ia bisa menyewa satu toko lagi. Tapi, kini semua itu jadi abu.
"Baru kemarin siang memperpanjang kontrak toko, baru ngasih uang sewa," ujar Jek. Ia kembali mengenakan masker. Asap hitam kebakaran pasar itu diembuskan angin ke arah kami.
Di dalam toko Jek, ada dua bal baju kaus yang baru ia beli. Modalnya Rp 7 juta untuk satu bal. Semua uangnya, sudah dibelikan untuk modal berdagang. Pagi tadi, api merenggut segalanya.
Jek masih termangu, matanya menatap kosong ke tulisan "Senen". Istrinya masih di pos penjagaan di depan pasar.
Jek memilih membantu para pedagang lainnya memindahkan barang-barang yang bisa diselamatkan. Pria 41 tahun itu merapatkan gerahamnya, menahan luka di hati.
Jek tetaplah sekuriti yang harus berjaga di Pasar Senen yang sudah terbakar selama 13 jam lebih itu. Ia mencoba menguatkan hati, tetap membantu pedagang lainnya. Menghalangi orang-orang yang tak dikenal memasuki area pasar agar, barang-barang berharga yang tersisa milik pedagang tak digondol maling.
Ia hidupkan senternya, melangkah ke dalam pasar bersama pedagang lainnya. Mencoba membantu menyelamatkan segala yang tersisa. Meski, tokonya sendiri sudah jadi abu dan tak ada sisa.
"Saya hanya berharap, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik. Semoga istri saya, anak-anak saya tabah dan sabar," ucap Jek berlalu dengan dua pedagang lainnya. Mereka menuju pekatnya kabut asap dan sebuah titik api yang berkobar di ujung lorong pasar Senen.
Advertisement