Liputan6.com, Jakarta Program studi kedokteran, Dokter Layanan Primer (DLP) kian menuai kontroversi. Ketua Ikatan Dokter Indonesia) Prof. Dr. I. Oetama Marsis, menegaskan, bila program ini terus dilanjutkan, maka Indonesia akan tertinggal dengan negara lain.
Marsis mengutarakan beberapa alasan. Pertama, mengenai kesenjangan dokter yang tidak akan tercapai pada 2019, atau saat universal coverage di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ketika itu, jumlah masyarakat Indonesia yang ditanggung JKN setidaknya 250 juta jiwa.
Advertisement
Namun jika dianalisis, kata dia, jumlah dokter umum saat ini bisa dimanfaatkan untuk menutupi kesenjangan dokter-dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti Puskesmas dan Klinik. Jadi sebenarnya tidak perlu program Dokter Layanan Primer.
"Produksi dokter 7.000-8.000 dokter per tahun, kebutuhan rasio 40 dokter per tahun 100.000 penduduk telah tercapai (saat ini). Masalah yang dihadapi adalah distribusi dokter yang tidak merata," kata Marsis saat menyambangi Kantor Redaksi Liputan6 di SCTV Tower, Senayan, Jakarta, Jumat, 20 Januari 2017.
Menurut Marsis, DLP merupakan program studi yang tidak berbasis bukti melainkan asumsi. Hal ini karena ada beberapa alasan yang dinilai tidak cukup kuat untuk membuktikan pentingnya DLP bagi masyarakat.
"Pemerintah menilai, DLP terbentuk atas dasar rujukan yang tinggi. Berdasarkan asumsi, 70 persen layanan kesehatan di FKTP akan dirujuk ke rumah sakit. Padahal faktanya, dirujuk bukan karena kompetensi dokter melainkan kekurangan dokter atau kehabisan obat, kekurangan fasilitas, alat kesehatan yang dibutuhkan, biaya pelayanan di atas biaya penggantian serta biasanya pasien akan datang ke rumah sakit terdekat," ujarnya.
Marsis menuturkan, lulusan dari pendidikan kedokteran Indonesia telah memiliki kompetensi yang tidak jauh dengan DLP yaitu, dapat menyelesaikan 144 penyakit yang termasuk dalam tingkat kompetensi 4
(dokter umum harus menangani secara mandiri dan tuntas). Kompetensi ini juga dinilai sangat memadai untuk memberikan pelayanan kesehatan di FKTP.
Sebaliknya, penambahan 11 kompetensi baru sehingga menjadi 155 kompetensi penyakit dapat dilakukan dengan pendidikan berkelanjutan secara mandiri.
Paradoks
Bertolak belakang dengan sistem pendidikan kedokteran di luar negeri
Membandingkan dengan program kedokteran di luar negeri, ternyata tidak ada satu pun negara yang memiliki gelar DLP (Primary Care Physician). Karena pada beberapa negara, dokter setara dokter umum dikenal dengan GP (General Practitioner atau Family Physician yang bekerja di layanan primer ataupun fokus pada keluarga.
"Mereka ini lulusan Fakultas Kedokteran melalui jenjang pendidikan yang sama dengan lulusan dokter (umum) di Indonesia. Sepanjang referensi yang kami peroleh, tidak dikenal spesialis dokter layanan primer," ujar Marsis.
Menyoal kualitas dokter pun, menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Marsis menilai kualitas dokter di Indonesia masih jauh di belakang. Jadi ketimbang mengurusi masalah program studi DLP, ia berharap pemerintah fokus pada kualitas dokter itu sendiri.
"Dibanding Myanmar, Indonesia masih lebih bagus sedikit. Tapi kita ketinggalan dengan kualitas dokter yang paling bagus di Singapura, Thailand, Filiphina. Bahkan Vietnam 12 tahun lalu jauh di bawah Indonesia sekarang mereka ada di depan kita mengejar ketertinggalan. Sedangkan Indonesia memiliki kualitas dokter terbawah," ungkapnya.
Advertisement
Pemborosan
DLP dinilai juga merupakan pemborosan. Dengan hasil kompetensi yang belum ada hasilnya, program studi ini dinilai terlalu menghabiskan anggaran negara.
"Membuat program studi baru (DLP setara spesialis) berdasarkan asumsi dengan hasil yang tidak jelas, memboroskan anggaran negara. Sebaiknya (DLP) dibatalkan. Pilihan lain, siapkan SDKI 2017 dan pendidikan kedokteran Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) yang terstruktur," imbuh Marsis.
Dokter Layanan Primer (DLP) juga dianggap pemborosan karena dokter butuh waktu dua hingga tiga tahun untuk lulus, yang artinya baru tersedia pada 2020 mendatang. Sementara pada 2019, seluruh masyarakat Indonesia harus dijamin pelayanan kesehatannya.
"Kurikulum Pendidikan Dokter sudah mengacu pada Program Standar Internasional di bidang pendidikan kedokteran yang ditetapkan oleh World Federation of Medical Education (WFME)," katanya.
Dewan pakar IDI, Prof. DR. Dr. A. Razak Thaha,MSc,Sp.GK menambahkan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran terlalu memicu perdebatan yang bertentangan dengan peraturan di atasnya. Seperti DLP yang semacam memunculkan profesi baru dalam dunia kedokteran yang memicu konflik dokter yang bertugas di layanan primer.
"Untuk memperbaiki layanan kesehatan di Indonesia, kita harus memperhatikan skema pendidikan yang ada. Maka diperlukan regulasi dan perubahan revisi yang tepat untuk mencegah DLP yang mubazir," pungkasnya.