Liputan6.com, Polewali Mandar - Pelaut ulung adalah julukan terhadap para nelayan suku Bugis, Makassar, dan Mandar di Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Barat. Sejak dahulu kala, mereka terkenal dengan kapal tradisional pinisi dan perahu sandeq.
Di Teluk Mandar, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, misalnya. Rutinitas melaut yang dimulai sejak pagi hari pun mendominasi Desa Pambusuang, Kecamatan Balanipa. Pemandangannya tak ada bedanya dengan aktivitas kampung nelayan lainnya di Tanah Air.
Meski tak ingin melaut, usai salat subuh, sejumlah nelayan yang mendiami pesisir Desa Pambusuang tersebut tetap menengok "Si Ramping" atau perahu sandeq yang hanya ada di Tanah Mandar.
Jika hendak ke Pantai Pambusuang, jarak dari ibu Kota Polewali Mandar hanya sekitar 40 kilometer atau 289 km dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Dan 145 km dari Mamuju, ibu kota Provinsi Sulawesi Barat.
Baca Juga
Advertisement
Namun, seiring perkembangan zaman, banyak nelayan mulai beralih ke perahu mesin untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Tak ayal, nasib perahu layar seperti sandeq dengan modal layar digulung, perlahan-lahan keberadaannya mulai tergerus.
Perahu khas etnis suku Mandar ini bukan habis digulung ombak di laut dalam. Melainkan populasi sandeq mulai berkurang akibat kemudinya ditinggal oleh para pelautnya yang andal.
"Dulunya jumlah perahu sandeq cukup banyak di sepanjang pesisir Pantai Pambusuang. Lalu dekat perahu sandeq, ada juga perahu baqgo atau perahu niaga yang dibuat khusus untuk gerakan literasi, yakni Perahu Pattingaloang milik Ridwan Alimuddin," ucap Urwa, warga Pambusuang, Teluk Mandar, kepada Liputan6.com, Jumat, 20 Januari 2017.
Senja Kala Perahu Sandeq?
Nelayan di Pambusuang yang menggunakan perahu sandeq menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan di laut. Uniknya, mereka hanya berburu dua jenis ikan, yakni ikan tuna dan ikan terbang.
Dalam perburuan ikan tuna, nelayan masyarakat Mandar pemilik sandeq umumnya menuju ke tengah laut. Dan menghampiri roppo atau sarang ikan yang dibuat terapung di laut dengan bahan dari bambu dan gabus.
"Cari ikan tuna sekitar roppo biasanya tiga hari. Dan jika malam tiba, sandeq diikat dekat roppo. Kami paling jauh berlayar hingga 20 mil mencari ikan tuna," Arif, nelayan Desa Pambusuang, menuturkan.
Ukuran perahu sandeq untuk menangkap ikan, lanjut Arif, idealnya hanya sembilan meter. Beda halnya dengan perahu sandeq yang kerap diperlombakan karena ukurannya lebih besar yang mencapai hingga 12 meter.
"Wajah perahu sandeq memiliki layar segitiga. Dan usia sandeq bisa bertahan lama jika selalu digunakan di laut. Jika hanya di daratan kena matahari dan hujan, maka kayu akan cepat lapuk," Arif menjelaskan.
Sementara itu, jumlah sandeq kini mulai berkurang seperti di Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar. Jumlahnya sekitar 30 unit dan usianya pun rata-rata usia di atas tiga puluh tahun.
Peneliti Budaya Maritim Ridwan Alimuddin mengaku, usia sandeq itu batas usianya 30 tahun saja. Jika sudah lapuk akan berakhir jadi kayu bakar di dapur kampung nelayan.
"Masyarakat sudah banyak beralih ke perahu mesin. Ada yang buat sandeq, tapi hanya untuk lomba saja. Itu pun tak seberapa. Dan jika tak dilestarikan nasib sandeq berakhir di dapur kayu bakar, sehingga jadi abu," penulis buku Sandeq Perahu Tercepat Nusantara ini memaparkan.
"Bahkan, bangkai sandeq ada yang dimanfaatkan sebagai dinding rumah, termasuk ranjang," ia menambahkan.
Padahal perahu sandeq, lanjut Ridwan, merupakan cerminan pelaut ulung Mandar. "Perahu Sandeq memiliki nilai historis, maupun religi bagi masyarakat Mandar."
Advertisement