Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal menilai kebijakan Donald Trump, Presiden Amerika Serikat AS) yang cenderung anti mainstream akan berpengaruh terhadap negara lain, termasuk Indonesia. Terutama menyangkut potensi keluarnya modal-modal asing ke AS sehingga berdampak pada kurs rupiah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Kebijakan ekonomi Trump cenderung anti mainstream mengundang kekhawatiran akan berdampak buruh terhadap berbagai negara, termasuk Indonesia," ujar Faisal dari hasil risetnya kepada wartawan di Jakarta, Minggu (22/1/2017).
Dari sisi fiskal, dijelaskannya, potensi kenaikan Fed Fund Rate (FFR) akan mengakibatkan biaya penerbitan obligasi pemerintah Indonesia semakin mahal. Kebijakan Donald Trump yang ekspansif nantinya tidak hanya akan meningkatkan jumlah utang yang harus dibiayai dengan obligasi, tapi juga akan mendorong kenaikan inflasi.
Baca Juga
Advertisement
"The Fed bahkan telah berencana menaikkan suku bunga acuannya hingga ke level 1,75 persen pada akhir 2017. Implikasinya, imbal hasil obligasi AS juga akan semakin meningkat," terang dia.
Hal ini, lebih lanjut Faisal mengatakan, akan mendorong meningkatnya aliran modal dari negara lain termasuk dari Indonesia ke AS. Dengan demikian, yield (bunga) obligasi pemerintah akan terdorong untuk semakin tinggi.
"Kondisi ini akan semakin membebani APBN mengingat porsi utang dalam bentuk obligasi mencapai 79 persen dari total outstanding utang pemerintah per November 2016," dia menuturkan.
Faisal menambahkan, dari sisi moneter, volatilitas rupiah yang berpotensi lebih tinggi tahun ini akan mendorong Bank Indonesia menerapkan kebijakan moneter yang lebih ketat.
"Aliran modal keluar dari Indonesia berpotensi meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya ketika tingkat suku bunga the Fed masih cukup rendah. Dampaknya gejolak kurs rupiah terhadap dolar AS makin tinggi," jelasnya.
Pada saat The Fed menaikkan suku bunga acuan (FFR) 25 basis poin menjadi 0,75 persen pada Desember 2016 lalu, meskipun suku bunga BI 7 day Reverse Repo tetap dipertahankan pada level 4,75 persen, nilai tukar rupiah melemah 59 poin dari Rp 13.367 per dolar AS menjadi Rp 13.426 per dolar AS pada 16 Desember 2016.
"Dengan melihat track record kebijakan BI selama ini, suku bunga acuan BI, BI 7 Day Repo Rate diperkirakan belum akan bergerak turun, bahkan berpotensi untuk meningkat. Apalagi, potensi kenaikan inflasi tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan dengan 2016," tandas Faisal. (Fik/Gdn)