Praktik Pesugihan di Balik Kilau Ladang Emas

Banyak penambang menjalani lelaku ghaib hingga rela menyerahkan tumbal nyawa demi meraup emas

oleh Bangun Santoso diperbarui 23 Jan 2017, 06:32 WIB
Razia penambang emas liar di Kabupaten Tebo, Jambi. (Bangun Santoso/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jambi - Cerita soal tambang emas ilegal di Provinsi Jambi, seakan tak ada habisnya. Mulai dari banyak korban jiwa, rusaknya ekosistem hingga cerita mistis para pendulang emas tradisional di daerah itu.

Sebelas gundukan batu tak jauh dari tepi sungai di Desa Simpang Parit, Kecamatan Renah Pembarap, Kabupaten Merangin, Jambi, pun menjadi penanda peristiwa mengerikan pada 24 Oktober 2016. Saat itu, 11 penambang emas tradisional tewas tertimbun longsor di lubang sedalam 50 meter lebih. Ironisnya, 11 korban tersebut tak bisa dievakuasi karena sulitnya medan serta kondisi usai kejadian.

Pada Oktober 2016, Manajer Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi, Rudi Syaf yang selama ini peduli di bidang lingkungan mengatakan, ada beberapa daerah di Jambi yang dikenal luas menjadi "lumbung" emas. Di antaranya Kabupaten Sarolangun, Merangin, sebagian wilayah Kerinci, Bungo, dan Tebo.

Penambangan emas secara tradisional juga sudah berlangsung lama. Bahkan sejak zaman nenek moyang. "Inilah kenapa banyak penambang dari berbagai daerah datang ke sini (Jambi) untuk menambang (emas)," ucap Rudi.

Adapun kisah miris tiga warga Kecamatan Suko Lilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah beberapa waktu lalu menjadi bukti, bahwa mendulang emas menjadi salah satu jalan memperoleh kekayaan dengan cepat. Tak jarang, sejumlah penambang emas ilegal nekat menjalani lelaku gaib demi mendapat pundi-pundi emas.


Tumbal Darah hingga Nyawa

Aktivitas penambangan emas liar di sungai Batanghari, Jambi. (Bangun Santoso/Liputan6.com)

Panggil saja namanya Uda Akhmad. Lelaki 40 tahun asal Pariaman, Sumatra Barat ini menceritakan pengalamannya dua tahun menjalani lelaku gaib demi memperoleh bongkahan emas di Kabupaten Tebo, Jambi. Pria anak dua ini mengaku pernah bekerja sebagai penambang antara tahun 2008 sampai 2010 di daerah Tanjung, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo.

Menurut Uda Akhmad, ia awalnya diajak salah satu saudara sepupunya yang sudah terlebih dahulu berprofesi sebagai penambang. Tekanan ekonomi hidup di kampung mendorong Akhmad merantau ke Jambi mengikuti jejak sepupunya sebagai penambang emas tradisional.

"Awalnya saya kerja sama dia (sepupu)," ujar Uda Akhmad yang saat ini memilih hidup dari berjualan nasi Padang di kawasan Pasar Tambun, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Saat dirinya datang pertama kali, di daerah tempatnya menambang sudah ratusan warga yang datang. Baik itu warga lokal maupun dari luar provinsi. "Kalau dari Jawa itu kebanyakan dari Pati atau Jawa Timur," tutur Akhmad.

Sebagai penambang pemula, Akhmad murni hanya memperoleh penghasilan dari sepupunya. Untuk ukuran tahun 2008 Akhmad mengaku pendapatannya tergolong kecil apabila dibanding penambang lainnya. "Saya cuma melok (ikut) saja. Jadi dapatnya dikit, paling banyak satu jutaan per minggu," ujar dia.

Hari ke hari, minggu ke minggu hingga berganti bulan, Akhmad mulai tahu rahasia para penambang agar memperoleh emas dengan cara cepat. Awalnya terdengar aneh, namun kenyataan yang dilihat Akhmad tak bisa ia pungkiri. Banyak penambang rela menjalani lelaku gaib demi jalan pintas memperoleh emas.

"Banyak, bukan saya saja. Ada yang ke dukun, ada yang sampai memberikan sesajian," tutur Akhmad.

Suatu malam di tahun 2009, Akhmad nekat menemui seseorang yang dianggap sakti dan memiliki kemampuan khusus terutama membantu perburuan emas. Saat bertemu sang dukun, Akhmad mengaku diberi sejumlah pilihan agar usahanya mencari butiran emas menjadi mudah dan tentunya cepat.

Namun, bagi Akhmad pilihan itu tidak lah mudah. Harus ada yang dikorbankan atau biasa disebut tumbal agar ikhtiarnya menjalani lelaku gaib benar-benar terlaksana. "Tumbalnya macam-macam, ada yang minta darah, sampai minta nyawa. Ini yang berat," kata Akhmad.

Semakin berat tumbal yang diberikan. Maka semakin banyak emas yang nantinya bakal diperoleh. Akhmad yang awalnya bimbang akhirnya memilih mengurungkan niatnya menjalani lelaku gaib dengan tumbal nyawa. Pria berawakan tambun ini masih memiki rasa takut akan balasan apabila menjalani lelaku gaib.

Menurut Akhmad, hingga saat ini, satu sepupunya tersebut masih aktif sebagai pemburu emas di Kabupaten Tebo. Banyak koleganya yang dinilai berhasil secara ekonomi setelah menambang emas tradisional. Mulai dari membeli tanah, membangun rumah atau membeli motor dan mobil.

"Tapi itu tadi, banyak yang pakai dukun dan tumbal juga," ucap Akhmad.

Tak betah tinggal di hutan daerah pedalaman, belum lagi ancaman longsor maupun razia aparat membuat Akhmad memilih merantau ke Pulau Jawa. "Kalau jadi penambang susah bawa keluarga. Akhirnya saya pindah ke sini (Kabupaten Bekasi) jualan nasi," Akhmad memungkasi.

 


Praktik Jual Beli Tanah

Kapolda Jambi Brigjen Pol Yazid Fanani bersama Gubernur Jambi Zumi Zola memperlihatkan barang bukti emas hasil penambangan liar di Kabupaten Merangin. (Bangun Santoso/Liputan6.com)

Saking sulitnya memberantas penambangan emas liar di Jambi, Gubernur Jambi, Zumi Zola berencana melegalkan penambangan emas liar di daerahnya.

"Masih dikaji dan ada pemerintah daerah serta kementrian yang memberikan izin ruang," ujar Zumi Zola di Jambi, Kamis, 22 Desember 2016.

Menurut Zola, penerbitan WPR tidak serta merta langsung diberikan, melainkan harus melalui pengkajian serta penelitian yang melibatkan berbagai pihak.

Sebelumnya dalam sebuah pertemuan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) di Jambi Oktober 2016 lalu terungkap bagaimana praktik distribusi alat berat hingga jual beli tanah untuk kawasan penambangan emas liar.

Dalam pemaparannya, Wakil Bupati Merangin, Khafied Moein menyebut, ada 156 unit alat berat jenis eskavator bertebaran di sejumlah titik mengeruk sungai yang terdapat emas. Tak hanya itu, para pemodal bahkan berani membayar lahan atau tanah yang ada di pinggir sungai seharga Rp 25 juta sampai Rp 30 juta per hektare.

"Dalam jual beli tanah itu, ada perjanjian, pemilik modal akan mengembalikan tanah yang dibeli dari masyarakat setelah selesai ditambang," Khafied mengungkapkan.

Untuk memberantas praktik ilegal itu, Khafied mengaku terkendala dana di samping juga godaan pundi uang yang menyebabkan masyarakat cenderung membela aktivitas penambangan emas liar. Pemkab Merangin untuk alokasi tim terpadu hanya menganggarkan Rp 250 juta. Sementara untuk sosialisasi hanya Rp 80 juta.

"Anggaran tersebut belum cukup, mengingat lokasi penambangan jauh dan sulit di jangkau," kata Khafied.

Cerita miris juga meluncur dari mulut Penjabat (Pj) Bupati Sarolangun, Arief Munandar. Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar) ini mengungkapkan, ada sekitar 130 unit eskavator tengah sibuk mengeruk lahan di kawasan hutan lindung di Kabupaten Sarolangun untuk mencari emas.

Ironisnya, dari sekian banyak lokasi sebagian besar warga justru cenderung pro-penambangan. "Di Sarolangun baru ada dua desa yang menolak aksi penambangan emas liar yakni di Desa Lubuk Gerodong dan Muara Cuban, Kabupaten Batang Asai," tutur Arief.

Salah satu upaya Pemkab Sarolangun adalah dengan memutus rantai penyaluran bahan bakar minyak (BBM) untuk alat berat yang sudah merambah kawasan hutan lindung di daerah Dusun Manggis.

Sementara di Kabupaten Bungo, aktivitas penambangan emas liar bahkan sudah merambah kawasan Bandara Muarabungo di Kota Muarabungo. Bupati Bungo, Mashuri menyebutkan, dari hasil razia sudah ada 30 mesin penambang atau biasa disebut dompeng dibakar aparat.

Bagi Mashuri, aktivitas penambangan emas liar di Bungo sudah bukan lagi mencari nafkah atau sekedar mencari makan. Sebab, harga satu unit mesin dompeng saja paling murah Rp 30 juta sampai Rp 150 juta perunit. Mashuri juga mengakui ada aparat TNI, Polri maupun Satpol PP yang ikut "bermain".

Menurut Mashuri, razia saja dinilai tidak cukup dalam memberantas penambangan emas ilegal. Namun juga komitmen bersama mulai dari masyarakat hingga aparat dan pemerintah. Sebab, sekalipun sudah ada pakta integritas dari para rio atau kepala desa saat dilantik, masalah baru muncul. Yakni, teror dari sejumlah penambang kepada masyarakat dan kades.

Sementara itu, Penjabat (Pj) Bupati Tebo, Agus Sunaryo menyebutkan, total alat berat penambang emas liar yang ada di daerahnya mencapai 165 unit. Jumlah itu menurun dari tahun sebelumnya pada 2015 yang mencapai 330 unit ekskavator.

Agus juga mengakui, ada beberapa oknum aparat yang terlibat dalam jaringan penambangan emas liar di Tebo. Bahkan ada oknum yang tengah disidik karena diduga menjadi beking dan pemodal aktivitas ilegal tersebut.

"Namun belum bisa kami ungkap karena masih penyelidikan," ujar Agus.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya