Liputan6.com, Jakarta - Komisi VII DPR akan memanggil Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar untuk berdiskusi terkait skema bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) berbasis gross split. Alasannya, Menteri ESDM Ignasius Jonan maupun Arcandra Tahar belum menyampaikan penerapan gross split yang disebut-sebut lebih menguntungkan negara ini.
"ESDM memang belum menyampaikan skema gross split ini ke DPR," tegas Anggota Komisi VII DPR, Ramson Siagian saat Diskusi Energi Kita di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (22/1/2017).
Ramson menilai, penerapan gross split yang berlaku 16 Januari 2017 ini menyimpang jauh dari Peraturan Menteri (Permen) Nomor 8 Tahun 2017. Di mana untuk minyak bumi, pemerintah mendapat jatah 57 persen dan 43 persen kontraktor. Sedangkan untuk gas bumi porsinya 52 persen negara dan 48 persen kontraktor.
"Faktanya Blok ONWJ sudah diputuskan bagi hasilnya kontraktor 62,5 persen negara dan 37,5 persen kontraktor untuk gas. Sementara minyak jatahnya 42,5 persen negara dan kontraktor 57,5 persen. Baru mulai saja sudah beda dengan standar di Permen, ini kan bikin publik bertanya-tanya ada apa," katanya.
Baca Juga
Advertisement
Atas dasar tersebut, Ramson mengaku akan meminta penjelasan kepada Wamen ESDM Arcandra untuk berdiskusi mengenai skema gross split tersebut.
"Rabu malam, Wamen ESDM diminta hadir dalam konsinyering dengan Komisi VII terkait RUU Migas mengenai gross split. Supaya kebijakan pemerintah konsisten, tidak terlalu jauh menyimpang pelaksanaannya di lapangan. Ini kan menyangkut kepercayaan publik juga, dipikir ada ruang juga nin (kompromi)," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Syamsir Abduh mengungkapkan pihaknya belum diajak berdiskusi secara resmi oleh Kementerian ESDM soal skema gross split tersebut.
"Diskusi gross split di DEN secara resmi belum dilakukan. Seharusnya sebelum kebijakan diputuskan, didiskusikan terlebih dahulu. Karena beberapa kasus, kebijakannya yang sudah diputuskan, belum diterapkan, lalu ditarik lagi. Ini kan mengacaukan kepercayaan publik," ucap dia.
Menurutnya, masalah paling serius saat ini adalah menyelesaikan RUU Migas supaya industri migas tumbuh efisien dan berdaya saing sehingga negara, masyarakat, dan pelaku usaha dapat menikmati keuntungan bersama.
"Ini yang kecil-kecil diselesaikan, tapi masalah serius RUU Migas tidak diperhatikan. Saya lihat negara memang diuntungkan dari gross split, tapi banyak yang meragukan bagaimana implementasi dari kebijakan ini," tegas Syamsir.
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Wiratmaja Puja mengungkapkan, skema gross split diluncurkan supaya industri hulu migas di Indonesia lebih atraktif. Apalagi di era persaingan global yang semakin ketat.
"Dari sisi aktraktif, industri hulu kita paling rendah sekali, sehingga perlu ada terobosan kebijakan supaya investor hulu migas datang ke Indonesia. Saat harga minyak dunia rendah, kita kurangi bagian pemerintah, tapi saat tinggi, pemerintah dapat tambahan. Jadi gross split sifatnya dinamis, fleksibel dengan harapan bisa menarik investor," terangnya.
Aturan ini berlaku untuk kontrak migas baru. Sementara yang lama, tetap akan diberlakukan standar lama. "Kita konsisten, karena kebijakan gross split tidak ganggu kontrak lama, jadi tidak berlaku surut," tandas Wiratmaja. (Fik/Gdn)