Liputan6.com, Beijing - Semenjak Donald Trump menjadi Presiden AS, peta politik dunia berubah. Salah satunya adalah hubungan AS-China.
Keduanya memanas kala Trump menerima telepon dari Presiden Taiwan Tsai Ing-wen yang mengancam kebijakan Satu China yang telah dijalin antara Washington-Beijing semenjak tahun 1970an.
Advertisement
Dunia dibuat ketar-ketir jika sampai kebijakan itu berakhir dan konflik terjadi antara ketiga negara itu. Apalagi, ada sejumlah rumor, moncong senjata China sudah mengarah ke Taiwan. Demikian analisa dari ahli politik University of Sydney, Ashley Townshend
Ia juga mengatakan, apapun kelak yang akan dilakukan Donald Trump, China tak bakal bergeming. Termasuk dengan kekuatan militer.
Kendati demikian, demi kestabilan, Townshend berharap untuk masalah dengan Taiwan, AS seharusnya lebih hati-hati.
Prediksi lain Townshend adalah perkembangan di Laut China Selatan akan jadi batu sandungan antara AS-China.
Townshend memperingatkan Beijing jangan mengintimidasi pemerintah baru yang dikomandani Trump. Sebab, tim di dalamnya jauh lebih 'kasar' dibanding dengan tim Obama di masa lalu.
Townshend juga menjelaskan bahwa Washington juga tak perlu panas dengan apapun yang dilakukan China. Termasuk jangan pernah menahan akses China ke wilayah Laut China Selatan.
"Sejauh ini, sebelum Trump naik pangkat, dunia sudah khawatir dengan Tiongkok, terlebih dengan masalah di Laut China Selatan. Tak perlu pemerintah baru AS mengubah secara drastis apalagi berlaku frontal kepada Beijing," kata Townshend seperti dikutip dari News.com.au, Rabu (25/1/2017).
"Dan jangan salah, China kini makin berambisi. Baik dari segi kekuatan militer juga dengan kemampuan ekonomi mereka," lanjut Townshend.
Namun, keambiusan China kuasai dunia bukan satu-satunya isu. Ada beberapa masalah yang diprediksi oleh Townshend bersama timnya terkait dengan mengguritanya Negeri Tirai Bambu ini.
Termasuk dengan gejolak dalam negeri Tiongkok yang bisa jadi mempengaruhi dunia. Seperti nilai mata uangnya, misalnya.
Berikut adalah 4 prediksi isu tentang China yang menjadi tantangan bagi dunia. Liputan6.com mengutip dari Associated Press dan berbagai sumber pada Rabu (25/1/2016):
1. Mata Uang
Associate Profesor, Salvator Babones, ahli ekonomi China mengatakan Yuan mengalami fluktuasi dalam beberapa bulan terakhir.
Babones mengatakan akhir tahun 2016 lalu, merupakan kerugian paling besar oleh mata uang Yuan semenjak 1994.
Di awal bulan Januari 2017, mata uang itu mencapai nilai tertinggi terhadap dolar AS.
Menurut Babones, yang bisa menyelamatkan fluktuasinya mata uang China adalah Presiden Donald Trump.
Prof Babones mengatakan China sedang berusaha untuk menopang nilai Yuan dalam upaya untuk mencegah larinya uang tersebut meninggalkan negara itu.
Sementara, Trump mengklaim bahwa Yuan terlalu rendah, memberikan China keuntungan yang tidak adil terhadap produsen Amerika.
"Solusi yang jelas, bukan? Sebuah perjanjian bagi AS untuk membeli Yuan," katanya Babones.
"Trump suka kejutan, dan dia mencintai kesepakatan. Sebuah kesepakatan mata uang dengan China, bisa jadi kejutan yang terbesar darinya."
Advertisement
2. Kesehatan
Profesor Mu Li, seorang ahli kesehatan masyarakat China dari School of Public Health, Sydney Medical School, mengatakan, penduduk China menghadapi beberapa masalah kesehatan yang besar tahun ini.
Polusi udara dan tingginya populasi orang tua adalah salah satu masalah terbesar untuk menguji rencana kesehatan China pada tahun 2030.
Prof Li mengatakan tahun 2017 adalah rekor tertinggi tingkat asap. Ada 32 kota berada di level tanda merah. Padahal kampanye melawan polusi asap telah digelontorkan oleh pemerintah.
Bulan lalu, melansir Associated Press, Beijing mengumumkan pihaknya berencana untuk menghabiskan dana sebesar US$ 2,7 miliar demi melawan polusi udara di ibu kota pada tahun 2017.
Prof Li pun memperkirakan populasi yang menua juga akan menguji batas Beijing seiring dengan pergeseran struktur sosial yang cepat. Populasi yang menua membuat tekanan besar pada layanan pemerintah yang terbatas.
3. Kebangkitan Duterte
Pakar Asia Tenggara Jonathan Bogais mengatakan, China menghadapi maju mundurnya hubungan dengan Filipina atas krisis Laut China Selatan.
Dia mengatakan, "Presiden Rodrigo Duterte mungkin berada dalam posisi yang lebih baik untuk menangani baik China dan Amerika Serikat atas masalah Laut China Selatan dibanding pendahulunya."
"Dengan menolak tekanan internasional untuk menegakkan hasil sidang Den Haag tahun 2016, Duterte sejauh ini mampu meredakan situasi tegang," lanjutnya.
Meski demikian, langkah itu menurut Profesor Bogais, dianggap ambigu. Karena, Laut China Selatan bukan hanya konflik antara Tiongkok dan Manila semata, namun juga banyak negara terlibat.
Advertisement
4. Kawasan Timur Laut Asia
Menurut Associate Professor Justin Hastings, China akan menghadapi hubungan yang menantang dengan negara-negara di kawasan Timur Laut Asia (Northeast Asia) dalam beberapa bulan mendatang.
Prof Hastings, dosen International Relations and Comparative Politics di the Department of Government and International Relations, mengatakan kawasan itu adalah daerah di mana China memiliki pengaruh terbesar, namun di lain sisi Beijing juga menghadapi tantangan berat.
Profesor Hastings memprediksi "hubungan China dengan Jepang akan tetap penuh dengan ketegangan". Terlebih menyangkut sengketa teritorial di Laut China Timur. Sengketa ini memiliki potensi untuk memicu "krisis".
Dua minggu lalu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengunjungi Filipina.
Kunjungan itu membuat Beijing khawatir Tokyo akan mengakhiri usaha Tiongkok untuk memenangkan pengaruhnya di negara-negara di kawasan Laut China Selatan.
Prof Hasting juga memprediksi China akan mencoba untuk mengisolasi dan menghukum Taiwan kerena memilih presiden pro-kedaulatan, Tsai Ing-wen.
Sementara itu, Korea Utara akan tetap bermasalah bagi China. Hal itu karena Korut bersikeras dengan program nuklirnya.
Namun, China tetap baik hati melanjutkan kerja sama dagang dengan Pyongyang demi rakyat Korut.