Liputan6.com, Seoul - Satu-satunya cara untuk mengubah nasib Korea Utara (Korut) adalah dengan mengubah pemimpinnya. Demikian pendapat, Thae Yong Ho, seorang mantan diplomat Korut yang membelot pada Agustus 2016.
Sebelum melarikan diri ke Korea Selatan (Korsel) bersama istri dan dua anaknya, Thae merupakan orang nomor dua di Kedutaan Besar Korut di London, Inggris.
Advertisement
"Selama Kim Jong-un berkuasa, tidak akan ada kesempatan bagi dunia untuk memperbarui isu HAM atau membatalkan program nuklir," ujar Thae seperti dikutip dari CNN, Rabu, (25/1/2017).
Thae pada awalnya berharap, latar belakang Kim Jong-un, yakni usia yang masih muda dan pernah menempuh pendidikan di luar negeri akan membuatnya menjadi seorang reformis. Namun harapannya sirna ketika ia menyaksikan banyaknya pejabat yang dieksekusi oleh Kim Jong-un.
"Kim Jong-un memutuskan untuk membunuh seseorang, jika dia merasa orang itu adalah ancaman. Dengan mudah dia akan menyingkirkan yang bersangkutan dan itulah kenyataan yang terjadi di Korut saat ini," jelas Thae yang meyakini akan ada lebih banyak elite Korut yang membelot.
Sebuah think-tank Korsel yang berafiliasi dengan badan intelijen negara (INSS) menilai, setidaknya, 340 orang telah dieksekusi sejak Kim Jong-un berkuasa pada Desember 2011. Ia menggantikan ayahnya, Kim Jong-il yang mangkat pada 17 Desember 2011.
Bicara dengan Donald Trump
Thae mengatakan, meski ia sendiri cukup terkejut dengan hasil pilpres AS yang menempatkan Donald Trump sebagai presiden, namun menurutnya, Kim Jong-un melihat momen ini sebagai kesempatan yang baik untuk berkompromi.
Mantan diplomat itu menegaskan, Kim Jong-un hanya akan berbicara dengan gayanya. Thae merujuk pada pidato Tahun Baru Kim Jong-un.
"Level pidato Tahun Baru nyaris seperti pemerasan yang tumpul," ungkap pria itu.
Dalam pidatonya, Kim Jong-un menegaskan bahwa jika AS melanjutkan kebijakan melawan Korut, maka dia akan menambah senjata nuklir untuk meningkatkan kapabilitas militer negara itu.
"Dia menyebutnya kapabilitas serangan pendahuluan. Maksudnya adalah rudal balistik antarbenua," terang Thae.
Selama berkampanye, Presiden Trump mengatakan bahwa dirinya membuka diri untuk bertemu dengan Kim Jong-un.
Menanggapi hal ini, Thae pun memohon agar Trump mempertimbangkan kembali langkah itu mengingat hal tersebut akan memberikan legitimasi bagi pemimpin Korut itu, sesuatu yang tidak didapatnya di negeri sendiri.
"Bahkan Presiden China, Xi Jinping dan Presiden Rusia, Vladimir Putin belum bertemu Kim Jong-un," tegasnya.
Thae mengklaim Kim Jong-un masih memerintah dengan rasa takut, ia masih berjuang untuk mengamankan legitimasi yang pernah dinikmati oleh ayahnya dan sang kakek yang juga pendiri Korut, Kim Il-sung
"Setelah 5 tahun berkuasa, ia bahkan tidak bisa memberitahukan rakyat Korut tentang tanggal lahirnya, di mana ia dilahirkan, tentang ibunya, juga mengisahkan hubungannya dengan sang kakek," kata Thae.
Advertisement
Sanksi Bekerja dengan Efektif
Diakui pula oleh Thae bahwa sanksi yang dijatuhkan oleh DK PBB pada 2 Maret 2016 bekerja dengan efektif. Sanksi kali itu disebut sebagai yang terberat yang dihadapi Korut.
Setidaknya terdapat 8 poin dalam sanksi DK PBB itu di mana salah satunya, 31 perusahaan perkapalan Korea Utara (Ocean Maritime Management Company - OMM) masuk dalam daftar hitam.
Menurut Thae, Kim Jong-un ingin membangun 14 zona ekonomi khusus di Korut dan mendirikan dua kementerian untuk mendorong investasi. Namun belakangan rencana untuk mendirikan dua kementerian itu dibatalkan.
Sanksi merupakan faktor yang sangat kuat yang menghantam perekonomian Korut dan memiliki efek psikologis bagi rakyat dan pejabat negara itu. Setidaknya, begitu menurut Thae.
"Namun itu semua belum cukup," tegasnya.
Thae menyarankan agar Trump mau membujuk China untuk mengambil tindakan lebih lanjut. Ini penting, mengingat keterlibatan China akan mencegah penyelundupan sumber daya melalui perbatasan.
Tiongkok juga harus mempertajam sikapnya soal program nuklir Korut. Selangkah lebih maju, Thae mengatakan, nuklir Korut tidak hanya menjadi ancaman bagi AS dan Korsel.
"Merujuk pada geopolitik internasional, tidak ada musuh atau teman yang abadi. Tidak ada yang dapat memprediksi mungkin suatu saat Kim Jong-un akan berbalik memusuhi China," tutur pria itu.
Disinggung tentang kerabatnya yang masih berada di Korut, Thae meneteskan air mata. Ia menuturkan kemungkinan bahwa mereka bisa saja dikirim ke kamp penjara sebagai hukuman atas pembelotannya atau bahkan dapat digunakan oleh rezim untuk melawannya.
Ia merasa sangat beruntung karena istri dan kedua buah hatinya ada bersamanya sementara hal tersebut belum tentu dialami oleh para diplomat lainnya.
Thae mengungkapkan bahwa para diplomat Korut memilih bertahan mengingat anak-anak mereka berada di Pyongyang.
"Anak-anak digunakan oleh Kim Jong-un sebagai sandera. Kim Jong-un melakukan pelanggaran bahkan memisahkan orang tua dan anak," kata dia.
Pada akhirnya, pembelotan tetap saja dirasa pahit oleh Thae Yong-ho.
"Itu membuat hidup saya menyedihkan karena selama 50 tahun saya menghabiskan hidup saya pada sisi yang salah, dan saya harus menolak masa lalu saya," imbuhnya.