Liputan6.com, Jakarta - Luis Milla Aspas. Nama pria kelahiran Teruel, kota di bagian Timur Spanyol yang terletak di ketinggian 915 meter di atas permukaan laut ini sudah menghiasi pemberitaan sepak bola nasional sejak beberapa pekan silam. Jadi, bukan kejutan besar ketika PSSI mengumumkan pria berumur 50 tahun tersebut sebagai pelatih timnas senior dan U-23 pada 20 Januari lalu.Penunjukan Milla juga tak mengejutkan.
Tanpa agenda Timnas Indonesia yang padat karena tak ikut dalam Pra-Piala Dunia 2018 dan kualifikasi Piala Asia 2019, PSSI tentu lebih membutuhkan pelatih yang terbiasa menangani para pemain muda. Apalagi bidikan PSSI adalah SEA Games tahun ini dan Asian Games tahun depan. PSSI menginginkan medali emas SEA Games dan setidaknya semifinalis Asian Games.
Baca Juga
Advertisement
Eks pemain yang pernah membela Barcelona, Real Madrid, dan Valencia tersebut memang dikenal mumpuni dalam memoles para talenta muda. Dia pernah menangani timnas U-19, U-20, U-21, dan U-23 Spanyol. Prestasinya adalah runner-up Piala Eropa U-19 2010 dan juara Piala Eropa U-21 2011. Pengalaman itu tentu bisa diandalkan saat menukangi Garuda dan Garuda Muda.
Karena reputasinya, ada harapan besar yang mengiringi kedatangan Milla. Beberapa pihak tak ragu menunjukkan optimisme tinggi terhadap kehadirannya. Optimisme melihat timnas yang lebih baik. Timnas Indonesia yang memiliki identitas permainan apik dan berprestasi. Maklum, Milla yang jebolan La Masia, akademi milik Barcelona, memang dikenal sebagai pengusung sepak bola atraktif.
Dalam konferensi pers pertamanya, Milla mengakui, dirinya terpilih karena PSSI ingin menerapkan gaya sepak bola Spanyol. Direktur Teknik Danurwindo, seperti dikutip Liputan6.com, bahkan secara spesifik menyebut Milla akan menerapkan filosofi sepak bola La Masia, yakni sepak bola menyerang.
Sekitar empat tahun silam, alasan itu pula yang membuat Milla diboyong ke tanah Asia oleh Al Jazira, klub asal Uni Emirat Arab. Ayed Mabkhout yang menjabat manajer tim utama Al Jazira kepada Sport 360 pada 2013 mengungkapkan, pergantian pelatih dari Paulo Bonamigo ke Milla semata karena persoalan gaya main. “Secara umum, kami tidak puas dengan cara kami bermain,” kata dia.
Soal Milla, Mabkhout berujar, “Milla adalah salah satu pelatih yang menganut sepak bola model baru. Para pelatih Spanyol punya ide-ide baru di sepak bola. Kami berbicara dengan dia dan tahu persis bahwa dia pun memiliki ide yang bagus.”
Bukan Midas
Meski demikian, patut dicatat, Milla bukanlah pelatih dengan sentuhan Midas. Dia bukan tukang sulap yang bisa mengubah sebuah tim dari bermain buruk menjadi luar biasa dan sukses dalam sekejap. Selain trofi juara Piala Eropa U-21, tak ada lagi prestasi yang diraihnya sebagai pelatih.
Selepas didepak asosiasi sepak bola Spanyol karena hasil buruk di Olimpiade London 2012 –saat itu Spanyol tersisih di penyisihan grup dengan dikalahkan dua underdog, Jepang dan Honduras, Milla seperti kehilangan sentuhannya. Baik di Al Jazira, CD Lugo, maupun Real Zaragoza, dia gagal memberikan hasil memuaskan. Dia bahkan tak bertahan hingga setahun di ketiga klub itu.
Saat dipecat Al Jazira, Milla tercatat hanya memberikan 10 kemenangan dari 28 laga yang dilakoninya. Dari segi hasil, ini sebuah kemunduran. Pasalnya, Bonamigo yang digantikan Milla justru memberikan 12 kemenangan dan hany sekali kalah dalam 19 laga terakhirnya. Al Jazira memang menginginkan perubahan gaya main, namun sepak bola tetap saja soal hasil. Itu sebabnya, Milla lantas digantikan Walter Zenga.
Bercermin pada pengalaman Milla di tiga klub terakhir yang ditanganinya, target juara SEA Games dan semifinalis Asian Games yang ditetapkan PSSI terasa janggal. Untuk SEA Games, Milla yang akan memulai tugasnya per 8 Februari nanti tidak memiliki cukup banyak waktu. Setengah tahun saja waktunya untuk mempersiapkan Garuda Muda.
Waktu persiapan yang terbilang singkat itu membuat target medali emas SEA Games tak ubahnya mission impossible. Patut dicatat, negara-negara lain telah melakukan persiapan jauh lebih matang. Singapura yang mengumpulkan para pemain mudanya di klub Garena Young Lions malah menjalani pemusatan latihan selama dua pekan di Phuket, Thailand, pada Januari ini. Sudah begitu, kompetisi nasional Liga 1 baru akan bergulir pada akhir Maret. Ini bisa jadi hambatan bagi Milla dalam pencarian pemain.
Padahal, untuk membawa Spanyol juara Piala Eropa U-21 pada 2011, Milla memulainya pada 2008 sebagai pelatih timnas U-19 Spanyol. Tengok saja, lebih dari setengah penggawa Spanyol saat juara di Denmark adalah penghuni skuat ke Piala Eropa U-19 pada 2008, 2009, dan 2010. Satu catatan tambahan, Milla juga diperkuat dua pemain yang setahun sebelumnya berada di skuat La Furia Roja saat menjuarai Piala Dunia di Afrika Selatan.
Membangun tim juara memang tak bisa instan karena banyak faktor yang harus dimiliki. Mengenai kesuksesannya mempersembahkan gelar juara di EURO U-21, Milla sempat mengungkapkan tiga resep utama. “Sekelompok talenta bagus, punya ambisi tinggi, dan terutama semuanya kompak,” jelas dia.
Membangun tim dengan tiga unsur itu dalam waktu enam bulan tentu bukan hal mudah. Bahkan, bisa dikatakan mustahil. Apalagi Milla menangani Indonesia yang tanpa David de Gea, Cesar Azpilicueta, dan Thiago Alcantara. Andai ternyata bisa melakukannya, bolehlah Luis Milla disebut sebagai keajaiban dunia.
Advertisement
Menjadi Katalisator
Sudah barang tentu, kita semua menginginkan timnas sepak bola Indonesia berprestasi bersama Milla. Harapan untuk bangkit dan juara harus tetap menyala. Namun, bagaimanapun, kita harus tetap berpijak pada fakta yang ada dan jejak sejarah. Jangan karena PSSI telah memberikan target juara, kita buta dan dilanda optimisme berlebihan. Lagi pula, apakah meraih trofi dalam waktu singkat memang hal yang sangat dibutuhkan untuk membangkitkan sepak bola nasional kita?
Andai Milla juara di SEA Games yang digelar di Kualalumpur, Agustus mendatang, justru ada sebuah kekhawatiran. Jangan-jangan itu akan memalingkan kita dari akar masalah utama, terutama tentang pembinaan usia dini. Jangan-jangan, kita jadi yakin bahwa untuk bangkit dan juara hanya butuh seorang pelatih berkelas dan ternama tanpa perlu pembenahan di sana-sini.
Rasanya kita perlu menetapkan satu ekspektasi saja terhadap keberadaan Milla untuk dua tahun ke depan. Tak perlu muluk-muluk memimpikan gelar juara dulu, cukuplah sekarang kita berharap Milla menjadi katalisator dalam membenahi sepak bola kita. Kita beeharap dia berkontribusi dalam pembenahan sektor junior dan meletakkan fondasi regenerasi berjenjang di timnas sehingga talenta-talenta yang apik di timnas junior bisa tetap bersinar saat membela timnas senior.
Pembenahan itu juga tentu saja menyangkut gaya main. Seperti dikatakan Milla, akan sulit menerapkan gaya sepak bola Spanyol. Dia pernah merasakan hal itu saat menangani Al Jazira. Kita pun tak perlu berharap Indonesia bermain laiknya Spanyol. Cukuplah kita berharap Milla menemukan sebuah identitas pemainan sepak bola Indonesia, gaya main yang pas dengan karakter dan fisik para pemain kita.
Dua tahun ke depan, bila dia bertahan sesuai kontraknya, kita perlu menilai Milla secara menyeluruh. Janganlah kita menjadikan trofi dan medali sebagai tolok ukur utama. Lebih penting bagi kita menilai Milla berdasarkan kontribusinya terhadap pembenahan sepak bola negeri ini. Bila memang dia tak berprestasi dan kontribusinya minim, tak perlu ragu bagi kita menyebut dia gagal. Tapi, andai kontribusinya terlihat nyata, jangan sebut dia gagal hanya karena timnas tetap tak juara.
Luis Milla. Semoga saja Indonesia menjadi titik balik dalam karier kepelatihannya. Semoga pula Indonesia bukan ulangan episode Al Jazira. Selamat bekerja, Milla! Selamat menjadi katalisator, campéon!
*Penulis pengamat sepak bola dan komentator. Tanggapi tulisan ini @seppginz.