Liputan6.com, New York - Harga minyak tetap naik pada penutupan perdagangan Kamis (Jumat pagi waktu Jakarta), mengabaikan adanya penumpukan persediaan minyak di AS. Pedagang tetap fokus pada pengurangan produksi negara-negara produsen minyak besar.
Mengutip Wall Street Journal, Jumat (27/1/2017), harga minyak mentah berjangka AS naik US$ 1,03 atau 1,95 persen dan menetap di angka US$ 53,78 per barel di New York Mercantile Exchange. Sedangkan harga minyak Brent, yang merupakan patokan global, naik US$ 1,16 atau 2,11 persen ke US$ 56,24 di ICE Futures Exchange London.
The U.S. Energy Information Administration mengeluarkan data pada Rabu kemarin bahwa persediaan minyak mentah AS naik 2,8 juta barel pada pekan yang berakhir pada tanggal 20 Januari. Dengan adanya data kenaikan tersebut maka persediaan minyak di AS telah naik dalam tiga pekan terakhir berturut-turut.
Baca Juga
Advertisement
Dengan adanya kenaikan ini menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh negara-negara yang tergabung sebagai eksportir minyak (OPEC) dalam target memotong pasokan dan membawa persediaan ke level yang normal.
Para analis melihat, harga minyak masih akan tetap menguat meskipun terjadi peningkatan pasokan di AS. "Belum ada alasan yang kuat bagi harga minyak untuk turun. Dalam data masih besar kesempatan untuk beli," jelas senior vice president for energy futures RJ O’Brien & Associates, Ric Navy.
Selain itu ada indikasi kenaikan permintaan dari Asia karena ekonomi di kawasan tersebut mulai merambat naik. Asia juga menjadi salah satu wilayah yang menjadi konsumen utama minyak.
Para pelaku pasar pun tetap melihat bahwa OPEC dan beberapa anggota non-OPEC tetap memegang janji mereka untuk memangkas produksi untuk membantu mendorong harga minyak.
"Pengurangan produksi minyak sudah menjadi kesepakatan internasional. Jika ada, mungkin hanya AS yang akan menahan harga minyak mentah," kata director of supply and trading TAC Energy, Mark Anderle.
OPEC dan beberapa negara non-OPEC sepakat untuk mengurangi produksi 2 persen yang dimulai sejak awal bulan ini hingga enam bulan ke depan. Kesepakatan pengurangan produksi tersebut terjadi pada akhir tahun lalu. Dalam realisasinya, beberapa indikasi telah terlihat bahwa kesepakatan tersebut berjalan sesuai dengan rencana sehingga mendorong kenaikan harga minyak.