Liputan6.com, Tel Aviv - Israel mengumumkan, bersedia menerima 100 anak yatim piatu asal Aleppo, Suriah. Pengumuman itu disampaikan di tengah kabar Presiden Donald Trump akan menutup pintu bagi imigran yang datang dari negara-negara mayoritas muslim, termasuk Suriah.
Tak sedikit yang mengkritik pengumuman tersebut, melihatnya sebagai upaya untuk meningkatkan citra publik Israel. Namun bagaimana pun ada yang menilainya sebagai perubahan dalam hubungan Israel dengan Suriah.
Advertisement
Sejak perang meletus enam tahun lalu, jutaan pengungsi telah melarikan diri dari Suriah ke sejumlah negara tetangga. Sementara Israel selama ini dikenal selalu menutup diri dari warga sipil yang menjadi korban perang.
Ketika kabar mengenai "adopsi" anak yatim asal Aleppo itu dikonfirmasi kepada pejabat terkait, yang bersangkutan hal tersebut masih rencana tahap awal. Israel menurutnya, telah mengulurkan tangan kepada Komisi Tinggi Pengungsi PBB untuk membantu identifikasi calon anak yang akan ditampung.
Pada akhirnya, anak-anak tersebut akan memenuhi syarat untuk menjadi warga tetap. Dan menurut Channel 10, Israel juga akan mempertimbangkan menerima anggota keluarga dekat mereka.
"Ini adalah keputusan yang adil dan penting. Pemerintah israel harus diberikan ucapan selamat," terang Itzik Shmuli, seorang anggota parlemen ketika dalam wawancara dengan Israel Radio seperti dikutip dari Los Angeles Times, Jumat, (27/1/2017).
Namun Eyal Zisser, seorang profesor ilmu politik di Tel Aviv University mengatakan, rencana yang tengah disusun oleh Menteri Dalam Negeri, Aryeh Deri tersebut hanya bersifat simbolis.
"Menteri ingin menunjukkan empati dan juga mengatakan bahwa dia berbuat sesuatu. Isu utama di sini bukan tentang 100 anak. Ini hanya untuk menunjukkan wajah Israel yang baik di mata dunia dan menangani opini publik Israel," ujar Prosefor Zisser.
Meski pun menolak untuk menerima pengungsi Suriah secara berkelanjutan, Israel mengklaim telah memberikan sekitar 3.000 warga Suriah akses ke perawatan medis dan rumah sakit selama empat tahun belakangan di desa-desa yang dikuasai pemberontak di perbatasan kedua negara di dataran tinggi Golan.
Para tentara Israel diklaim mendirikan rumah sakit lapangan di daerah perbatasan mengirimkan obat-obaran, makanan, dan selimut untuk membantu desa-desa tersebut.
Israel selama ini berusaha menghindar terlibat dalam perang Suriah. Namun negara pimpinan PM Benjamin Netanyahu ini memiliki kepentingan untuk mempertahankan perbatasan mereka di dataran tinggi Golan.
Pada tahun 2015 lalu, seorang politisi dari kalangan oposisi Israel mengemukan pendapatnya bahwa negara memiliki kewajiban moral untuk menampung pengungsi mengingat sejarah Israel sebagai tempat berlindung bagi Yahudi Eropa yang selamat dari Holocaust. Namun pandangan tersebut ditolak para pemimpin negara itu karena dinilai terlalu berisiko.
PM Netanyahu saat itu berdalih, Israel terlalu kecil untuk menampung pengungsi Suriah.
Pandangan serupa mengemuka kembali pada tahun 2016 seiring dengan pertempuran di Aleppo yang menciptakan krisis kemanusiaan besar-besaran. Sebuah pengumpulan dana untuk membantu pengungsi berhasil menghimpun US$ 100.000.
Mendagri Israel Aryeh Deri mengatakan, Israel tidak boleh acuh terhadap krisis yang mendera Suriah. Dan pada Desember lalu, Netanyahu mengatakan, Israel mulai menjajaki untuk membawa para pengungsi ke Israel.
Selain keprihatinan tentang risiko keamanan, para pejabat Israel sebenarnya khawatir bahwa keputusan untuk menerima pengungsi Suriah dapat memengaruhi negosiasi dengan otoritas Palestina.
Setidaknya, terdapat 500.000 warga Palestina di Suriah yang digolongkan sebagai pengungsi. Para pejabat Israel cemas, kelak jika mereka memberikan mereka tempat tinggal maka hal tersebut akan memicu pengungsi Palestina untuk menuntut hal yang sama.
Israel memiliki kebijakan imigrasi dan pengungsi yang ketat bagi migran non-Yahudi. Dalam rentang tujuh tahun, setidaknya terdapat lebih dari 50.000 warga Afrika ilegal yang menyeberang ke Israel selatan. Kebanyakan dari mereka berasal dari Sudan dan Eritrea.
Para pejabat imigrasi Israel sebagian besar telah menolak untuk mengabulkan suaka mereka. Negara itu juga mengambil langkah keras dengan menempatkan migran Afrika ke pusat-pusat penahanan.
Moti Kahana, seorang pebisnis Israel-Amerika yang melobi para pejabat Israel untuk menerima pengungsi Suriah memuji rencana pemerintahan Netanyahu. Namun menurutnya, Israel bisa berbuat lebih banyak untuk membantu warga Suriah yang tinggal di dekat daratan Golan.
"Rakyat Israel terjaga ketika Aleppo runtuuh. Kenapa dari Aleppo, karena terdengar baik secara politik. Setidaknya berjarak 200 meter dari perbatasan Israel," kata Kahana.