Masjid Lautze, Simbol Toleransi di Pusat Kota Jakarta

Masjid Lautze berkembang di daerah Pecinan. Tempat ini bagaikan oase di tengah hiruk pikuk perdagangan yang menggeliat di Pasar Baru.

oleh Muhammad AliMoch Harun Syah diperbarui 28 Jan 2017, 06:01 WIB
Masjid Lautze di Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Liputan6.com, Jakarta - Kumandang azan terdengar nyaring dari sebuah bangunan berornamen China di kawasan Lautze, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Seruan itu disambut penuh sukacita para pekerja sekitar untuk menunaikan ibadah salat Asar.

Mereka berbondong-bondong menuju tempat wudu di samping bangunan. Para jemaah laki-laki dapat menjangkaunya melalui pintu sebelah kanan gedung. Sementara jemaah wanita, tempat salat, dan wudunya berada di lantai dua.

Di tempat wudu ini, para jemaah yang kebanyakan dari Tionghoa khusyuk menunaikan syarat sahnya ibadah. Usai itu, mereka langsung masuk ke dalam untuk selanjutnya melaksanakan salat berjemaah dengan berbaris hingga mencapai tiga shaf.

"Sering saya salat di sini. Salat Jumat di sini ada juga. Kebetulan saya kerja di sekitar sini jadi bisa sambil istirahat," kata seorang jemaah, Herman, saat ditemui di lokasi, Kamis, 26 Januari 2017.

Jika melihat sekilas, bangunan di Jalan Lautze nomor 87-89 yang didominasi warna merah, kuning, dan ornamen lampion itu tampak bukan sebuah masjid. Namun begitu, dapat dipastikan lokasi itu merupakan tempat ibadah orang muslim yang dikenal dengan Masjid Lautze Jakarta.

Masuk ke dalam Masjid Lautze, kelir merah dan kuning masih mendominasi bagian dalamnya. Ada empat pintu masuk melengkung mirip kubah di Masjid Lautze. Dua pintu berada di sebelah kanan dan sisanya berada di sebelah kiri. Keduanya dipisahkan tulisan tanda peresmian masjid yang ditandatangani Ketua ICMI saat itu dijabat oleh BJ Habibie.


Interior Nuansa Tionghoa

Warna kuning dan merah mendominasi interior Masjid Lautze, Jakarta Pusat.

Di dalam masjid, mata jemaah dimanjakan dengan tulisan-tulisan dinding berbahasa Arab beserta artinya dalam bahasa Indonesia. Namun, ada pemandangan sedikit berbeda lantaran di bawah tulisan Arab itu juga terdapat arti dalam tulisan Tionghoa.

Penjaga, atau yang biasa dikenal merbot masjid, Ngatimin, mengatakan lembaran kaligrafi itu dibawa dari Tiongkok. Sedangkan karpet tebal hijau yang menambah selaras warna dalam masjid didatangkan dari lokal.

"Itu dibawa dari Tiongkok, tapi dibingkai di sini (di Indonesia). Di sana juga banyak muslim, kan, bikin kaligrafi. Kalau mimbar sama karpet ya di sini. Kalau lampion yang di depan beli di sini," kata pria berusia 63 tahun itu.

Penggunaan lampion di masjid ini disebutkan tidak memiliki makna khusus. Itu digunakan murni agar ornamen masjid ini semarak penuh warna, sehingga memancing orang untuk melihat.

Dia menuturkan, masjid yang sudah berdiri selama 26 tahun silam ini tak hanya dikunjungi oleh warga sekitar. Sejumlah tokoh nasional dan kiai juga pernah menyambanginya. Mereka ada yang hanya sekadar salat ataupun memberikan ceramah di Masjid Lautze.

"Seingat saya ustadz Zainudin MZ, Pak Habibie, Pak Try Sutrisno salat Jumat di sini," kata Ngatimin.

Setiap Jumat, Masjid Lautze dipenuhi para mualaf keturunan Tionghoa dan warga sekitar. Usai salat Jumat biasanya mereka saling bertukar pikiran dan berbagi ilmu pengetahuan tentang Islam.

Ngatimin melanjutkan, setiap hari Minggu, muslim Tionghoa aktif melaksanakan pengajian. Mulai belajar membaca, memahami Alquran sampai mendengarkan ceramah dari guru agama. Hal itu menjadi agenda rutin mereka pada setiap pekan.

"Di sini minggu pengajian banyak mualaf. Mulai jam 11.00 WIB dilanjut Zuhur berjemaah dan 13.30 WIB mulai lagi sampai Asar. Ya enggak cuma Tionghoa, siapa pun boleh belajar di sini," tutur dia.


Lahirkan Ribuan Mualaf

Data orang yang masuk Islam di Masjid Lautze, Jakarta Pusat.

Masjid yang berdiri dengan arsitektur China ini merupakan bangunan yang dulunya digunakan sebagai kantor Yayasan Haji Karim Oei (YHKO). Ketua YHKO yang kala itu dipegang Yunus Yahya (tokoh pembaruan dari China) mengusulkan, agar lokasi ini juga digunakan sebagai tempat ibadah kaum muslimin.

"Bikin yayasan tahun 1991, terus cari tempat. Dapat, terus sewa satu lantai dengan waktu 2 tahun. Waktu itu kita duitnya cuma cukup sewa satu lantai. Udah sewa, Pak Yunus Yahya (Ketua YHKO yang juga tokoh pembauran dari China) mengusulkan agar tempat ini juga jadi masjid dan disetujui," cerita Ketua Umum Yayasan Haji Karim Oei (YHKO), Ali Karim Oei, ketika ditemui Liputan6.com di bilangan Jakarta Timur, Kamis, 26 Januari 2017.

Setelah itu, ucap Ali, sang pemilik bangunan itu merasa gerah lantaran bangunan ruko diubah peruntukannya. Kemudian dengan kesepakatan bersama, ruko itu ditawarkan untuk dibeli dengan harga Rp 200 juta.

"Disuruh beli kita, harganya Rp 200 juta. Dikasih waktu sampai 6 bulan. Terus kita cari dana hingga akhirnya terkumpul Rp 50 juta. Bingung, mau cari ke mana sisanya. Terus kita putusin pinjam ke bank," tutur Ali Karim dengan santai.

Setelah uang diterima dan diberikan kepada pemilik ruko, akhirnya bangunan itu resmi menjadi milik YHKO. Namun setelah itu pada bulan pertama, pihaknya tidak membayar bunga pinjaman tersebut hingga berujung pada pemanggilan oleh pihak bank.

"Bulan kedua kita dipanggil bank. Abis gimana orang kita enggak punya uang. Udah pusing, kirim surat ke Pak Harto. Kebetulan waktu itu, ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) baru diresmikan. Zaman Pak Habibie. Enggak tahu Pak Harto perintahkan Pak Habibie atau gimana, tahu-tahu Pak Habibi telepon saya, 'Ini uang udah ada, kok enggak diambil-diambil. Akhirnya dibayar sama Pak Habibie," kenang dia sambil tersenyum.

Terkait dengan nama masjid, Ali Karim mengungkapkan awalnya ada usulan nama itu diambil dari bahasa Arab, layaknya tempat ibadah lain. Namun itu dinilai hal yang biasa.

"Tadinya diusulkan namanya Alhidayah atau Albarakah. Saya bilang enggak keren. Ini kan Jalan Lautze. Udah pakai aja (nama Masjid Lautze), simple," ujar Ali Karim sambil tertawa.


Oase di Jantung Kota

Jemaah sedang melaksanakan salat berjamaah di Masjid Lautze, Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Sejak itu, Masjid Lautze berkembang dan bagaikan oase di tengah hiruk-pikuk perdagangan yang menggeliat di Pasar Baru. Menurut Ali Karim, oase itu tak hanya dirasakan kaum muslimin, tapi juga banyak dikecap manfaatnya oleh nonmuslim.

"Setiap hari kita buka kayak kantor. Ada ustaz, muazin, petugas kebersihan masjid. Kadang ada orang lewat, kemudian datang ke masjid ini untuk konsultasi tentang Islam. Banyak orang enggak tahu, tanya mengapa Islam itu teroris. Padahal, kan, satu-dua orang yang teroris, Islam bukan teroris, Islam tidak mengajarkan teroris," Ali Karim menegaskan.

Dia mengungkapkan, saat ini tercatat sudah ribuan orang mengucapkan syahadat di masjid ini. Mereka berasal dari kalangan remaja hingga orang tua. Sedangkan latar belakangnya beragam, tapi yang terbanyak karena faktor pernikahan.

Dalam bulan Januari 2017, sudah ada enam orang jadi mualaf. Mereka diantar keluarganya saat datang dan mengucapkan syahadat di Masjid Lautze. Yang terakhir, yaitu seorang wanita, diantar keluarga oleh calon suaminya.

"Ada yang datang sekali dua kali, terus yakin mau masuk Islam. Kita syahadatkan. sudah disyahadatin, dia orang ikut kegiatan kita. Misalnya minggu itu dia belajar ngaji, salat. Baru dengar ceramah. Sebulan kemudian sertifikat mualaf dikasih," ucap Ali Karim.

Dia mengungkapkan, masjid yang dibinanya ini tidak hanya terbatas untuk etnis Tionghoa saja. Semua orang dapat merasakan fasilitas masjid layaknya rumah sendiri.

"Lautze Kelihatannya masjid Cina, masjid Tionghoa, tapi kalau udah Islam enggak ada beda. Itu tujuannya. Jangan ekselusiflah," ujar Ali Karim.

Suasana itu dapat dilihat saat acara pembinaan yang berlangsung setiap Minggu pukul 11.00 sampai 13.30 WIB. Setelah pengajian kelar, jemaah dari seluruh etnis itu tak langsung pulang. Mereka berkumpul untuk ramah-tamah.

"Abis salat Zuhur, biasanya makan dulu. Cina sama Arab sama, kalau kumpul makan. Ini biar ukhuwahnya (persaudaraan) kian kuat," ujar dia.


Khatib Selebritas

Jemaah sedang berada di Masjid Lautze, Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Bila penasaran ingin mengunjungi masjid tersebut, ada baiknya tidak pada saat salat Magrib. Karena masjid tersebut beroperasi sejak pukul 10.00 WIB hingga 16.00 WIB.

"Malam enggak buka. Alasannya keamanan. Udah sering komputer masjid dan kotak amal hilang," ucap dia.

Namun begitu, suasana berbeda akan terasa saat Ramadan tiba. Pada malam hari, masjid ini menggelar salat tarawih pada waktu tertentu saja.

"Adain tarawih cuma malam Ahad saja dengan 11 rakaat. Imamnya setiap dua rakat diganti. Semua dari mualaf yang baru bisa ngaji. Yang penting hafal Al Fatihah, masalah surat gampang. Dan alhamdulillah, respons jemaah bagus, enggak masalah," ungkap dia.

"Kita juga tidak ada acara maulid. Yang ada cuman salat Id (Idul Fitri dan Adha). Khatibnya dari selebritas seperti Teuku Wisnu, Dude Herlino, juga ada politikus," ujar Ali Karim.

Menyikapi kondisi terkini, Ali Karim menegaskan, Masjid Lautze tak terlibat politik praktis. Kendati ada beberapa jemaah yang sempat menanyakan hal tersebut terkait aksi 2 Desember 2016.

"Kita kan dari dulu netral. Tidak berpolitik, tak ikut campur. Kayak kemarin aksi 212, kita punya kaus Masjid Lautze, ada yang nanya jemaah mau ikut ke Monas pakai kaus Lautze boleh atau tidak. Saya bilang terserah. Kita enggak nyuruh dan juga enggak larang," ucap pria yang juga menjadi pengurus pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.

Hal senada disampaikan pengurus Masjid Lautze, Ngatimin. Saat ditemui Liputan6.com, dia berharap Masjid Lautze bisa jadi salah satu contoh Islam dalam menyikapi soal keberagaman.

Menurut dia, keberagaman jadi indah saat satu sama lain mau menghargai dan saling menghormati. Hal itu dirasakannya sudah hampir 20 tahun lebih di Masjid Lautze.

Toleransi itu tergambar dari masing-masing pihak dalam menghargai pelaksanaan ibadah. Saat salawat Tarawih yang berlangsung di Masjid pada malam Minggu, para nonmuslim di sekitarnya menghormati kegiatan masjid dengan tanpa menggangunya.

"Harapannya damai aja, Islam bersatu. Mau dari Tionghoa yang muslim atau bukan. Ya Islam itu menghargai perbedaan, kan. Yang baik-baik aja dijalani. Ini posisi masjid di kanan-kiri kebetulan ditempati nonmuslim, tapi tidak pernah mengganggu kegiatan kita," ujar Ngatimin.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya