Liputan6.com, Pontianak - Wiji Thukul hingga kini hilang tak tentu rimbanya. Seniman dan aktivis itu terus dicari sejak menghilang pada hari-hari reformasi bergolak di era 1996-1997.
Nama Wiji Thukul memang tak hilang. Orang-orang masih terus melawan lupa soal Wiji Thukul, termasuk melalui pemutaran film Istirahatlah Kata-Kata secara serentak di berbagai kota pada 19 Januari 2017.
Kenangan atas Wiji Thukul masih terus dipelihara. Salah satu baris sajaknya sangat populer, "Hanya satu kata, lawan!" jadi inspirasi aksi perlawanan.
Wiji Thukul juga meninggalkan jejak di Pontianak, Kalimantan Barat. Dia memang sempat bersembunyi di sana.
Baca Juga
Advertisement
Oleh Martin Siregar (46 tahun), orang yang memberinya tumpangan di Pontianak, Wiji Thukul atau dipanggil Bang Paul, dikenalkan sebagai tukang bakso dari Solo. Ada yang percaya, tapi ada yang curiga.
Liputan6.com berbincang-bincang dengan Martin Siregar di Pontianak, Jumat, 20 Januari 2017. Bang Martin, demikian Martin biasa disapa, bercerita tentang Wiji Thukul selama di Pontianak. Berikut petikannya.
Bagaimana ceritanya menampung Wiji Thukul?
Di minggu awal Agustus tahun 1996, secara mendadak aku ditelepon oleh kawan Jakarta. Namanya Boy, yang mendampingi Wiji Thukul ke sini. Boy dulu pernah aktif di LBH Bandung.
Terus dua hari kemudian, rupanya dia sudah berada di rumahnya Juweng. Juweng juga telepon, suruh datang aku ke situ. Datang, ngobrol dengan mereka, sepintas tentang latar belakang Thukul.
Waktu itu dia tinggal di rumah Juweng. Karena agak banyak keluarga Juweng yang datang dari kampung, dia dipindahkan ke rumahnya Dalif. Tapi juga banyak keluarga yang datang, pindah ke rumahnya Thomas.
Karena begitu banyaknya keluarga-keluarga yang datang ke rumah Juweng, Dalif, dan Thomas, akhirnya kami putuskan lebih baik pindah ke rumah aku. Wiji Thukul tidak mau merepotkan orang lain. Terpaksa awalnya, dia keberatan karena kami baru kenal. Tapi akhirnya kami bergaul dekat.
Bagaimana kondisi Wiji Thukul saat itu?
Waktu itu matanya masih merah. Urat-urat di matanya masih ada merah, bekas dipukuli.
Apa nama samarannya?
Kadang-kadang kami panggil Paul, nama samarannya.
Bagaimana kesehariannya?
Orangnya kan sangat disiplin, komitmennya kuat, sangat produktif menggunakan waktu. Setiap pagi dia itu diskusi sama istriku tentang lauk pagi, lauk siang, lauk malam. Kemudian dia sediakan minum kopi kami bersama bertiga. Setelah itu aku antar istriku kerja ke toko bunga, terus aku berkegiatan ke mana-mana.
Apakah istri bisa menerima?
Jadi, aku sama istriku juga merasa sangat menyatu sama Wiji Thukul. Selama di atas motor kami cerita bagaimana usaha-usaha kita supaya Bang Paul ini tidak suntuk dan bagaimana dia bisa at home di rumah kita.
Hal itu juga dipikirkan Paul. Kadang-kadang dia sapu rumah kami yang sederhana, kadang-kadang dia masak, atau cari sayur ke belakang rumah kami yang masih hutan. Secara perlahan dan kerja sendiri, dia bikin bendengan-bendengan, kemudian kami cari bibit sayur bayam, wortel, sama cabai untuk ditanam di bendengan.
Apa Wiji Thukul suka bercocok tanam?
Bercocok tanam itu untuk mengobati dirinya, membuang suntuk. Wiji Thukul juga pintar masak. Biasanya sayur toge ditumis.
Menulis Puisi, Belajar Bahasa
Apa kegiatan intelektualnya?
Kegiatan intelektual yaitu belajar bahasa Inggris, bikin puisi, bikin cerpen. Sempat kliping. Dia membeli buku dan majalah lumayan banyak, sekalian beli baju juga di Parit Besar, dihadiahkan untuk istrinya.
Kalau kebetulan dia kepingin mengetik sesuatu, aku antarkan ke rumahnya Thomas, nanti sore aku jemput lagi ke rumahku.
Sesekali juga minta antar ke toko buku. Naluri investigasinya sangat kuat. Dia misalnya melihat sesuatu, sorenya pasti punya cerita yang seru tentang bagaimana mata rantai ekonomi atau persoalan-persoalan degradasi moral di Kalimantan Barat, seiring degradasi di Indonesia secara keseluruhan.
Hal ini yang membuat istriku semakin simpati sama dia.
Waktu itu aku juga punya sepeda Federal, aku beli bekas. Itu yang dipakai dia setiap hari ke mana-mana. Pulang dari sana, pasti ada tulisan-tulisan tangan. Dia ke tempat Thomas, untuk ngetik. Karena kelonggaran kawan-kawan adik sepupunya istriku, tinggal juga dia asrama mahasiswa Kabupaten Sanggau, Jalan Perdana, Kota Pontianak.
Aku dulu punya radio yang hampir rusak. Tiap jam 8 malam atau jam 6 pagi dia harus mendengar itu sambil memegang pulpen dan kertas, belajar bahasa Inggris melalui radio BBC London.
Kemudian ada kawan dari mahasiswa Sanggau, pendidikan guru bahasa Inggris. Apa yang dia tidak tahu didiskusikannya. Jadilah dia bisa berbahasa Inggris.
Apakah Wiji Thukul masih menulis puisi?
Ada beberapa puisi yang justru dia dapat bahan bakunya dari berdialog bersama istriku. Misalnya tentang tidak takutnya masuk hutan malam-malam sama orang kampung. Ada 10 puisi dan dua cerpen dari hasil diskusi bersama istriku.
Puisi-puisi itu disebar ke seluruh koran dengan nama samaran Alexius. Gara-gara puisi itu mungkin pihak penguasa jadi sangat yakin bahwa Wiji Thukul pernah di Kalimantan.
Apa kegiatan lain mengisi waktunya?
Wiji Thukul tahan di kamar 10 hingga 12 jam. Kadang-kadang kuintip, dia meditasi.
Bagaimana respons tetangga?
Tetangga nanya-nanya aku, "Ini siapa?" Aku bilang bahwa ini kawan aku, pedagang bakso dari Solo, kebetulan dirampok di Solo, jadi harus ke sini. Jadi untuk sementara tinggal bersama kami, menunggu uangnya ada, dan kiriman dari keluarganya.
Setelah itu jadi longgar lagi, dia bisa ke sana ke mari. Thukul konsisten untuk tetap pakai caping, tidak mau interaksi dengan siapa-siapa. Itu tetap dijaga dengan baik.
Hanya saja November pertengahan, ada foto Wiji Thukul masuk ke majalah Detak, itu yang membuat aku tegang, terus gimana ini. Akhirnya kami terangkan, Wiji Thukul itu punya kawan kembar yang sosok politik.
Supaya secara spirit dia naik, sekalian dia kepingin kenal kehidupan di kampung Dayak, maka menjelang Natal kami nginap di kampung istriku. Abang iparku di kampung sangat curiga karena pemahaman Wiji Thukul terhadap proses kemiskinan rakyat. Abang iparku bilang, kalau kapasitas manusia begini mana mungkin tukang bakso.
Pernah ada teror?
Kalau ketegangan ketika Wiji Thukul di sini berupa beberapa telepon gelap. Pernah juga ada dua orang berpakaian, pakai tutup mulut gitu, pura-pura nanya tempat kos. Akhirnya dia mau tanya aku, tapi aku ngelak, aku bilang (Wiji Thukul) baru dipecat dari sopir bus. Akhirnya tidak terlacak dia.
Satu kali pernah terjadi ketegangan berikutnya. Wiji Thukul yang baru belajar naik motor pulang jam tiga pagi. Rupanya dia investigasi satu orang anak remaja yang macam mau jadi pelacur. Waktu itu memang kami sangat takut, jangan-jangan dia diculik dan segala macam. Kami enggak bisa melihat situ, karena telepon. Tidak ada, motor cuma satu.
Advertisement
Selamat Jalan Wiji Thukul
Kapan Wiji Thukul pulang ke Jawa?
Kemudian Bang Paul pulang, 1996 akhir atau awal 1997. Dia rindu dengan anaknya. Dia bilang, aku pasti kembali. Dia bilang rindu anak istri dan segala macam, akhirnya kami bolehkan. Istriku sediakan sarung untuk Bang Paul dan sandalnya dibungkus.
Aku antarkan ke Pelabuhan Dwikora Pontianak. Kapalnya tujuannya ke Semarang. Dari Semarang, dia kirim surat, bilang bahwa aku senang, amanlah. Dia hanya 10 hari di sana. Di Januari akhir, sudah kembali ke rumah kami.
Maret akhir kembali lagi dia bilang, "Aku pulang, aku harus dibolehkan." Kami bisa memaklumi kerinduannya pada keluarga. Dia berangkat di akhir Maret 1997.
Apa kabar selanjutnya?
Dua minggu setelah kepergiannya, datang satu anak buah kapal barang, datang menjumpai aku menyampaikan kabar Wiji Thukul. Dia sudah di Jakarta, tinggal di rumah pengusaha tekstil, dekat Tanjung Priok. Wiji Thukul kirim celana jeans, baju tidur ibu-ibu, dan celana pendek, dan uang.
Melalui surat, dia berpesan agar uangnya dipakai buat tambahan uang belanja kami. Uang itu cukup membantu karena di sini kami sangat prihatin.
Kemudian surat itu kami balas melalui anak buah kapal itu. Kami sampaikan kami sehat, istriku hamil lagi. Istriku pernah hamil saat Wiji Thukul di rumah kami. Waktu itu dia sediakan makanan-makanan bergizi khusus untuk istriku.
Kemudian surat itu dibalas lagi, "Aku di Jakarta, aman semuanya, dan akan ke Solo." Kami balas lagi. Kemudian dia bilang, sedang minta istrinya menjahit popok untuk anakku nantinya.
Rupanya berita ini ditangkap oleh pihak penguasa, sehingga beredar isu bahwa Wiji Thukul kawin lagi di sini. Ini sempat ramai bahwa Paul itu kawin di sini. Padahal, karena cerita popok untuk anakku tadi.
Kemudian kami balas suratnya, kami minta doa selama perawatan istriku, semoga tidak keguguran lagi. Habis surat itu tidak dibalas lagi. Terakhir mengirim April akhir, awal Mei. Kemudian tidak dibalas-balas lagi.
Setelah itu kemana?
Kondisi kembali normal. Setelah itu, tiba-tiba aku ditelepon oleh Mbak Pon (istri Wiji Thukul) melalui telepon seluler awal 2000. "Bang Martin, Wiji Thukul di mana?" Terus aku jawab, "Aku juga tidak tahu, kami ketinggalan jejak."
Gara-gara telepon itu, aku demam tiga hari. Habis itu Mbak Pon membuat pengaduan orang hilang ke Kontras tahun 2000. Aku berspekulasi, dia meneleponku untuk konfirmasi bahwa Wiji Thukul menghilang. Terus tidak ada kabar lagi.
Ada dengar isu dari majalah, dia menjadi orang gila di Solo. Ada juga isu dia ikut dosen, jadi isunya banyak. Dan aku sengaja menutup diri agar tidak mendengar informasi ini.
Beberapa tahun kemudian baru aku mau membuka informasi, kucicil berjumpa orang, bercerita. Aku juga diundang ke Komnas HAM untuk berbicara tentang fenomena orang hilang di Jakarta.
Aku tidak mengerti, kejadian aku ditelepon, kemudian pengaduan Mbak Pon ke Kontras, kemudian meninggalnya Munir (aktivis Kontras), aku pikir itu satu mata rantai yang tidak bisa aku pahami.
Wiji Thukul masih hidup atau sudah mati?
Kalau masih ada, tidak mungkin dia tidak muncul. Suasananya juga sudah seperti ini, pasti aman-aman saja kan.
Kalau dia sudah tidak ada, saya cuma bilang sampai jumpa di sana. Selamat jalan Wiji Thukul, sampai jumpa di surga.