Larangan Masuk AS, kecuali Negara yang Berbisnis dengan Trump?

Kebijakan Trump mengecualikan negara mayoritas muslim di mana Trump Organization aktif, meskipun negara masuk dalam daftar terorisme.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 29 Jan 2017, 14:24 WIB
Trump menelpon sejumlah pemimpin dunia terkait perintah eksekutif larangan masuk ke AS (AFP Photo/MANDEL NGAN)

Liputan6.com, Washington, DC - Tujuh negara yang mengalami pembatasan kunjungan oleh Presiden Trump memiliki sesuatu yang sama. Tak satu pun negara itu memiliki kepentingan bisnis dengan Trump.

Perintah Eksekutif Donald Trump yang ditandatangani pada Jumat menyatakan pelarangan masuk warga dari Suriah, Iran, Irak, Yaman, Sudan, Somalia dan Libya selama 90 hari ke depan.

Namun, kebijakan Trump ini mengecualikan negara mayoritas muslim tempat Trump Organization aktif berkegiatan, meskipun negara itu masuk dalam daftar terorisme AS.

Menurut perintah itu, pelarangan berlaku untuk negara-negara yang telah dikeluarkan dari program yang memungkinkan orang melakukan perjalanan ke Amerika Serikat tanpa visa karena kekhawatiran atas terorisme.

Namun, AS tak mencantumkan larangan untuk warga Mesir. Diduga karena negara tersebut merupakan koalisi muslim AS yang kuat dan kaya.

Hal yang meragukan lainnya diungkapkan para ahli etika hukum. Larangan itu didesain berdasarkan nilai bisnis yang dimiliki Trump di negara lain.

"Dia perlu menjual bisnis di luar keluarganya dan menempatkan aset kepada orang lain. Jika tidak, setiap keputusan yang ia buat akan dipertanyakan oleh orang. Apakah berdasarkan kepentingan sendiri atau masyarakat AS?" kata Jordan Libowitz, juru bicara Citizens for Responsibility and Ethics di Washington, sebuah kelompok pengawas liberal.

"Namun, ada hal yang dipertanyakan terkait dengan larangan masuk tujuh negara muslim ke AS," ujar Libowitz.

Dilansir Washigton Post, Minggu (29/1/2017), kelompok ini telah mengajukan gugatan dengan alasan bahwa Trump sudah melanggar ketentuan konstitusi terkait perintah eksekutif itu. 

Awal pekan ini, Norm Eisen, ketua kelompok itu dan mantan penasehat etika Barack Obama, berkicau dalam Twitternya, "PERINGATAN: Tuan Presiden. Larangan Muslim Anda tidak termasuk negara-negara di mana Anda memiliki kepentingan bisnis. Itu adalah PELANGGARAN KONSTITUSI. Sampai bertemu di pengadilan."

Dan ternyata, kicauan itu terbukti benar. Dari tujuh negara itu, tak satu pun bisnis Trump ada. Padahal, ada negara lain berpotensi terorisme seperti Mesir, Turki, dan Arab Saudi. Akan tetapi, ketiga negara itu tak satu pun masuk dalam daftar.

Namun, "tuduhan" itu dibantah habis-habisan oleh Stephanie Grisham, juru bicara Gedung Putih.

"Wilayah berisiko tinggi didasarkan pada undang-undang Kongres dan tidak ada yang lain."

Trump sendiri telah mengatakan ia telah menyerahkan tanggung jawab properti, lisensi, dan kepemilikan bisnis kepada putranya untuk menghindari anggapan membuat kebijakan berdasarkan bisnisnya. Namun, ia tetap sebagai pemilik perusahaan-perusahaan itu.

Gedung milik Trump di Dubai (AP)

Kebijakan Trump itu tidak memasukkan Turki, yang telah menghadapi beberapa serangan teroris dalam beberapa bulan terakhir. Padahal, pada Rabu lalu,  Departemen Luar Negeri memperbarui travel warning bagi warga Amerika yang mengunjungi Turki dan mencatat bahwa, "Peningkatan retorika anti-Amerika memiliki potensi untuk menginspirasi aktor independen untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warga AS."

Trump memiliki lisensi usaha untuk dua menara mewah di Istanbul. Sebuah perusahaan Turki juga memproduksi perabot rumah merek Trump, ungkap laporan keuangan terbaru Trump, yang diajukan pada bulan Mei ketika dia menjadi seorang calon presiden. Laporan itu menunjukkan bahwa ia telah mendapatkan sebanyak US$ 6 juta di tahun sebelumnya dari penawaran di Turki.

"Saya cuma memiliki sedikit konflik kepentingan hanya karena ada bangunan utama di Istanbul," katanya dalam sebuah wawancara Desember 2015 dengan Breitbart News. Baru-baru ini Trump menegaskan tidak memiliki konflik kepentingan karena undang-undang tentang konflik kepentingan tidak berlaku untuk presiden.

Negara yang juga tak tersentuh oleh perintah eksekutif Jumat adalah Uni Emirat Arab, sekutu muslim yang kuat dengan Amerika Serikat. Trump memiliki lisensi nama untuk sebuah resor Dubai golf, serta pembangunan rumah mewah dan spa.

Trump tampak sangat segan untuk menceraikan dirinya dari proyek. Pengembangnya, Hussain Sajwani, menghadiri pesta malam tahun baru di real estate mewah Trump, Mar-a-Lago, di mana video menunjukkan Trump memberikan pujian dengan menyebut Sajwani dan keluarganya sebagai "orang-orang yang paling indah."

Larangan Masuk AS, Kecuali Negara yang Berbisnis dengan Trump? (AP)

Dengan pengembang itu, Trump juga bekerja sama sebesar US$ 2 juta.

Perintah eksekutif juga tidak menyebutkan Arab Saudi, negeri asal 15 dari 19 teroris yang terlibat dalam serangan 9/11. Trump Organization telah memasukkan beberapa perusahaan perseroan terbatas dalam persiapan untuk upaya untuk membangun hotel di Arab Saudi, menunjukkan minat dalam ekspansi di dalam negeri. Namun, perusahaan Trump membatalkan perjanjian itu pada Desember 2016, setelah proyeknya tersendat.

Pengecualian juga terjadi bagi Indonesia, negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, di mana ada dua besar resor Trump tengah dibangun bersama mitra dagang lokal di RI. Padahal, travel warning deplu AS juga menyebut Indonesia berpotensi dengan serangan terorisme. 

"Jujur, kami benar-benar tidak tahu apa yang membuat Trump mengeluarkan kebijakan ini," kata Kamal Essaheb, direktur kebijakan dan advokasi untuk National Immigration Law Center.

"Dari apa yang bisa kita katakan dari kampanye dan tindakannya sejak ia menjadi presiden, tampaknya ia lebih mengutamakan kepentingan diri serta merek dagangnya saja," ujar Essaheb.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya