Sinagog di New York Tampilkan Kisah Muslim Penyelamat Yahudi

Sinagog Temple Emanu-El memamerkan 15 kisah terlupakan tentang sejumlah muslim yang menjadi penyelamat kaum Yahudi saat Perang Dunia II.

oleh Citra Dewi diperbarui 29 Jan 2017, 20:24 WIB
(Atas, dari kiri ke kanan) Behic Erkin, King Zog I of Albania, Noor Inayat Khan; (Bawah, dari kiri ke kanan) Mohamed Helmy, Rifat Abdyl Hoxha, Ahmed Pasha Bey (I Am Your Protector)

Liputan6.com, New York - Bahkan dalam waktu tergelap pun, masih ada orang-orang yang muncul sebagai pahlawan -- meski terkadang mereka merupakan orang yang paling kita tidak duga.

Itu adalah sebuah pesan yang diampaikan oleh kelompok nonprofit, I Am Your Protector, dalam Hari Peringatan Holocaust pada Jumat, 27 Januari 2017, di sebuah rumah ibadah orang Yahudi atau Sinagog Temple Elmanu-El di New York.

Di sana mereka menampilkan sebuah pameran kecil yang menyoroti cerita yang tidak banyak diketahui, yakni tentang muslim yang mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan orang Yahudi dari kekerasan selama Perang Dunia II.

Meski dua kelompok agama tersebut sering digambarkan sebagai pihak yang saling bertentangan, pameran tersebut menjadi pengingat bahwa mereka pernah berbagi sejarah penting dalam kerja sama.

Di dalam kisah tersebut termasuk cerita soal Khaled Abdul Wahab, yang menampung lebih dari 25 orang Yahudi di Tunisia, dan Abdol Hossein Sardari, diplomat Iran yang membantu ribuan umat Yahudi kabur dari tentara Nazi dengan mengeluarkan paspor untuk mereka.

Tak hanya itu, terdapat juga keluarga Muslim bernama Pilkus di Albania yang menyembunyikan Johana Neumann dan ibunya di rumah mereka selama pendudukan Jerman.

"Mereka mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan kami. Jika ketahuan kami adalah orang Yahudi, seluruh keluarga akan dibunuh," ujar Neumann yang saat ini berusia 86 tahun kepada Time, seperti dikutip Liputan6.com, Minggu (29/1/2017).

"Apa yang orang-orang ini lakukan, banyak Negara Eropa yang tidak melakukannya," imbuh Neumann saat menceritakan soal muslim penyelamat Yahudi.

Menurut penyelenggara, koleksi 15 cerita yang ditampilkan dalam pameran tersebut menunjukkan bagaimana orang-orang dengan sendirinya datang untuk melindungi satu sama lain, bahkan di lingkungan perang dan konflik.

"Kisah-kisah tersebut sangat kuat, karena menunjukkan sisi kemanusiaan yang berbeda. Hal itu menunjukkan bahwa kita dapat memiliki harapan bahkan pada saat Holocaust," ujar Profesor dari Manhattan College, Mehnaz Afridi, yang khusus mengkaji soal Islam dan Holocaust.


Kebijakan Keras Donald Trump Terhadap Muslim

Meski pameran itu merupakan pengingat masa lalu, co-director I Am Your Protector, Dani Laurence Andrea Varadi mengatakan, hal itu penting diingat menyusul meningkatkanya kebencian yang ada pada saat ini.

Kelompok yang berbasis di New York itu mendorong masyarakat agar melawan ketidakadilan.

Varadi juga menunjukan iklim kurang ramah yang dihadapi banyak umat Islam di seluruh dunia dan Amerika Serikat. Menurut angka dari FBI, kejahatan atas kebencian terhadap muslim di AS melonjak 67 persen pada 2015.

Selama kampanye, Donald Trump berjanji melarang umat Islam memasuki AS. Setelah resmi menjabat sebagai presiden, ia meminta Gedung Putih untuk menghentikan pemberian via bagi sejumlah orang dari beberapa negara mayoritas Muslim.

"Itu membuat orang-orang berpikir bahwa membenci itu adalah sah," ujar Varadi.

Varadi menambahkan, pameran yang diadakan oganisasinya dapat menunjukkan dampak yang terjadi ketika seseorang melindungi target kebencian di tengah meningkatkan ketakutan, kecurigaan dan kebencian.
Ia pun berharap cerita tersebut menginspirasi orang lain untuk mengikuti tindakan itu.

"Kita bisa berbicara, mendukung orang lain ketika kita menyaksikan sesuatu, mengangkat suara dalam damai, tanpa kekerasan," kata Varadi.

Pameran tersebut pertama kali ditampilkan di markas PBB di Jenewa beberapa minggu lalu. I am Your Protector berharap cerita yang mereka tampilkan berdampak panjang.

"Saya pikir sejarah menunjukkan bahwa orang mendukung satu sama lain -- dan mereka adalah orang-orang yang menciptakan perubahan. Dan jika ada cukup orang yang melakukan hal itu, maka seluruh realitas akan berubah," ujar Varadi.

"Ketika masyarakat datang bersama-sama dengan pola pikir itu, apakah itu kecil atau besar, hal tersebut menjadi sebuah kekuatan besar yang dapa dasarnya dapat mengubah jalannya sejarah," imbuh dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya