Liputan6.com, New York - Harga minyak mentah dunia jatuh terpicu kabar jika terjadi kenaikan kegiatan pengeboran di Amerika Serikat (AS), juga kekhawatiran bila pemotongan produksi dari negara anggota OPEC tidak akan mengurangi kekenyangan pasokan minyak global seperti harapan.
Melansir laman Reuters, Selasa (31/1/2017), harga minyak patokan global Brent turun 29 sen menjadi US$ 55,23 per barel. Sementara minyak mentah berjangka AS susut 54 sen ke posisi US$ 52,63 per barel.
Jumlah rig minyak AS yang aktif pada pekan lalu naik ke level tertinggi sejak November 2015, menurut data Baker Hughes. Pengeboran didorong harga minyak yang mencapai di atas US$ 50 per barel.
Baca Juga
Advertisement
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan produsen lainnya termasuk Rusia sepakat untuk memotong output hampir 1,8 juta barel per hari (bph) pada semester pertama 2017. Ini untuk meringankan kelebihan pasokan yang berlangsung selama dua tahun.
Pada tahap pertama, anggota bersepakat memotong produksi sebesar 900 ribu barel per hari (bph) pada Januari, menurut Petro-Logistics, yang melacak kondisi pasokan minyak OPEC.
"Data dari Petro-Logistics menunjukkan, hanya 75 persen dari target pemotongan akan terpenuhi...ada kekhawatiran tentang seberapa besar pengurangan akan menjadi kekuatan dalam produksi minyak mentah AS," kata Tony Headrick, Analis Energi CHS di Minnesota.
Sementara survei terbaru Reuters menunjukkan bahwa produksi OPEC sedikit menurun pada Desember.
Minyak diprediksi memiliki cukup dukungan untuk bertahan dengan harga di atas US$ 50 per barel. "Tetapi tidak akan lebih tinggi dari itu," kata Carl Larry, Direktur Pengembangan Bisnis Minyak dan Gas Frost & Sullivan.
Analis di J.P. Morgan menilai jika mereka melihat ada kemungkinan harga minyak melampaui US$ 60 per barel pada 2018.
"Harga minyak di atas US$ 60 per barel pada 2018 bisa saja terjadi tapi ini memerlukan pengurangan produksi OPEC yang berkelanjutan di pasar hingga kuartal 3 17, sesuatu yang tampak tidak mungkin pada saat ini," menurut laporan JP Morgan.