Liputan6.com, Jakarta - Satu pekan sebelum Donald Trump dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, sebuah rumor terkait perilaku "liar" pebisnis itu beredar di sejumlah media.
Pria berusia 70 tahun itu diduga membayar sejumlah pekerja seks komersial (PSK) untuk melakukan "pertunjukan" di dalam kamar jenis Presidential Suite di Ritz-Carlon Moskow yang bertarif 14 ribu pound sterling per malam.
Advertisement
Selain itu, Donald Trump meminta para PSK untuk melakukan tindakan tak semestinya di kamar yang pernah diinapi Presiden AS Barack Obama dan istrinya.
Sejumlah laporan menyebutkan, mata-mata Rusia memasang sejumlah mikrofon dan kamera-kamera rahasia di kamar-kamar hotel.
"Kelakuan Trump di Moskow termasuk penyewaan Presidential Suite di Ritz Carlton Hotel, yang diketahuinya menjadi tempat menginap Presiden dan Nyonya Obama (yang dibencinya) dalam suatu kunjungan resmi ke Rusia," demikian menurut laporan rahasia yang dibeberkan Buzzfeed.
Informasi itu diduga didapatkan dari sejumlah memo yang dikumpulkan mantan agen intelijen Inggris yang memiliki hubungan-hubungan dengan sumber-sumber Rusia.
Risalah rahasia itu diberikan kepada empat petinggi paling senior di kalangan intelijen AS, yaitu Direktur National Intelligence James Clapper, Direktur FBI James Comey, Direktur CIA John Brennan, dan Direktur NSA Laksamana Mike Rogers.
Dalam menanggapi kabar tersebut, Donald Trump menyebutnya sebagai "berita palsu" sekaligus "upaya politis mencari-cari kesalahan."
Saat ditanya soal kabar tersebut Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Galuzin, mengatakan bahwa itu hanya kebohongan belaka.
"Sebenarnya, kebohongan semacam ini tidak membutuhkan respons apa pun karena itu kebohongan belaka," ujar Dubes Galuzin saat press briefing yang diadakan di kediamannya pada Selasa, 31 Januari 2017.
Ia mengatakan, Putin menyebut bahwa badan intelijen Rusia tidak pernah mengumpulkan apa yang disebutnya sebagai "informasi negatif" soal Donald Trump, termasuk saat ia melakukan perjalanan bisnis ke Moskow.
"Ini adalah rumor kotor yang diinisiasi oleh CIA soal orang yang terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat," kata Dubes Galuzin.
Galuzin menganggap bahwa hal tersebut menunjukkan cara sangat buruk yang dilakukan oleh badan intelijen Amerika. Ia pun setuju dengan Donald Trump jika pebisnis asal New York itu mengatakan bahwa badan intelijen AS perlu direformasi.