Liputan6.com, Jakarta - Perdebatan tentang penyadapan kembali mengemuka di publik. Ini setelah pernyataan Ahok dan tim pengacaranya saat persidangan terkait kasus dugaan penistaan agama, menuduh, dan menyeret nama presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terlibat dalam percakapan di telepon dengan ketua MUI sekaligus Rais Am NU, Ma’ruf Amin.
Ahok dan timnya mengklaim mempunyai transkrip percakapan tersebut. Situasi bertambah hangat karena ditengarai terjadi penyadapan ilegal terhadap SBY dan Ma’ruf Amin.
Keadaan ini kian kacau lantaran ketiadaan regulasi khusus tentang penyadapan. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 31 ayat 4 memang sudah mengatur penyadapan. Pasal ini memberi kewenangan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah tentang penyadapan.
Namun, pasal ini sudah dihapus Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2011. MK memberi rekomendasi agar segera dibuat undang-undang yang mengatur penyadapan.
Baca Juga
Advertisement
Kepada Tekno Liputan6.com, pakar keamanan siber dan kriptografi Pratama Persadha menegaskan bahwa kekosongan regulasi ini berpotensi membuat penyadapan menjadi liar dan bebas terjadi. Maka itu, ia menilai perlu regulasi yang jelas dan khusus agar situasi ini tidak berlarut-larut. Regulasi ini nantinya mesti memperjelas siapa saja yang berwenang menyadap, bagaimana izinnya bisa keluar, dan bagaimana perlindungan terhadap masyarakat.
“Sebenarnya, liarnya penyadapan ini sudah diingatkan oleh Snowden beberapa tahun terakhir. Perkembangan teknologi penyadapan berkembang pesat dan banyak pilihan. Seharusnya alat sadap hanya dijual ke pemerintah atau istilahnya Government to Government. Namun tidak menutup kemungkinan pihak non-state (selain negara) juga membeli (alat sadap) lewat pasar gelap,” ujar pria yang juga merupakan Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center).
Mengenai teknis penyadapan, Pratama menjelaskan, seiring kemajuan teknologi, melakukan penyadapan sangat mudah. Juga dengan bantuan regulasi, penyadapan bisa dilakukan secara legal.
“Penyadapan bisa dilakukan dengan dua metode, yaitu menggunakan perangkat taktis yang diterjunkan langsung di lapangan di sekitar target, atau dengan metode Lawful Intercept, yang mana penyadapan dilakukan di sisi perangkat operator,” tutur pria yang pernah menjadi pejabat di Lembaga Sandi Negara ini.
Ia menjelaskan, perangkat taktis untuk menyadap akan menyamar menjadi sebuah BTS sesuai dengan operator seluler yang dimiliki target, sehingga ponsel target akan tersambung dengan perangkat taktis itu.
Setelah tersambung, perangkat itu tidak hanya bisa melakukan penyadapan, tetapi juga bisa melakukan kloning nomor telpon dari target, sehingga juga bisa memanipulasi informasi seperti mengirimkan SMS dan melakukan percakapan dari nomor target.
“Berbeda dengan penyadapan taktis yang harus mendekati target, penyadapan dengan menggunakan metode Lawful Interception lebih mudah karena tidak perlu mengikuti target ke mana pun target bergerak karena pada Lawful Intercept perangkat untuk melakukan penyadapan diletakkan langsung di jaringan operator seluler, sehingga bisa mendapatkan seluruh komunikasi yang terjadi,” pungkas Pratama.
(Why/Isk)