Liputan6.com, London - Usia Bumi sudah lebih dari 4,54 miliar tahun. Planet kita diperkirakan masih mampu menopang kehidupan setidaknya selama 1,75 miliar tahun mendatang. Namun, para ilmuwan Oxford University mengeluarkan prediksi mengerikan: kiamat bagi manusia mungkin bisa datang lebih cepat.
Seperti dikutip dari Daily Mail, Sabtu (4/2/2017), para ilmuwan menyebut, ada tiga risiko paling mendesak yang bisa menghapus kehidupan manusia dari muka Bumi: pandemi, perubahan iklim ekstrem, dan perang nuklir.
Kini, ada kebutuhan mendesak bagi para pemimpin dunia untuk membatasi risiko masing-masing 'pemicu kiamat'.
Baca Juga
Advertisement
Masyarakat internasional juga diimbau mengakui pentingnya masa depan umat manusia, dan melakukan tindakan untuk mengurangi ancaman bagi keberadaan kita.
Peringatan tersebut dipaparkan dalam laporan terbaru Future of Humanity Institute (FHI), yang menjadi bagian dari Fakultas Psikologi Oxford University.
Para peneliti mewawancarai sejumlah ahli di bidang yang terkait dengan tujuan riset.
Berdasarkan hasil wawancara, para ilmuwan menyimpulkan langkah-langkah kunci, yang bisa mengurangi risiko eksistensial tersebut.
Menurut laporan, yang dirilis di Kedutaan Besar Finlandia di London, para pemimpin dunia harus merencanakan upaya lebih untuk menghadapi penyakit ekstrem seperti ebola dan zika.
Kemunculan penyakit-penyakit tersebut bisa menghadirkan masalah besar. Sebab, melibatkan patogen yang belum diketahui dan belum ada vaksin untuk mencegahnya -- obatnya pun masih misterius.
"Ketika krisis ebola dan zika terjadi, mengelola pandemi menjadi tanggung jawab global, "kata penulis utama Sebastian Farquhar.
"Namun, perencanaan masih pada taraf nasional. Baru sedikit perhatian yang dicurahkan pada skenario terburuk -- misalnya risiko dari patogen yang sengaja direkayasa," tambah dia.
Laporan tersebut juga menyoroti pentingnya fokus yang lebih berkelanjutan terkait identifikasi senjata biologis.
"Survei yang dilakukan baru-baru ini, yang merangkum pendapat ahli di Inggris terkait senjata biologis. Dibutuhkan fokus internasional yang lebih luas dan lebih berkelanjutan," kata Piers Millett, seorang ahli biosekuriti di Future of Humanity Institute.
Sementara, dengan kekuatan yang bisa menghancurkan sebuah kota dalam hitungan detik, bom nuklir adalah senjata paling merusak di muka Bumi.
Perubahan Iklim
Dan, perekayasaan kebumian atau geoengineering -- termasuk pelepasan sulfat di stratosfer untuk mengurangi suhu planet ini -- dianggap penting untuk mengelola dampak perubahan iklim.
Sejak Revolusi Industri, manusia menjadi tertuduh utama yang mengacaukan keseimbangan atmosfer.
Para penulis mengatakan, perlu adanya perhatian yang lebih besar terkait penelitian geoengineering.
Untuk mencegah malapetaka bagi bumi dan semua isinya, para ilmuwan meminta komitmen para pemimpin global untuk mengurangi risiko masa depan -- yang akan dikuatkan dalam hukum internasional.
Para ilmuwan juga mengusulkan pembentukan tim internasional yang akan terlibat dalam pengelolaan risiko bencana.
"Kerjasama Internasional tentang risiko global mendesak saat ini, lebih penting daripada sebelumnya, "kata Sebastian Farquhar.
"Pandemi penyakit, perubahan iklim, dan musim dingin nuklir tidak mengenal batas negara." Kiamat tak memilih lokasi.
Advertisement
Musim Dingin Nuklir yang Mematikan
Senjata nuklir baru digunakan dua kali sepanjang sejarah. Di Hiroshima dan Nagasaki, di penghujung Perang Dunia II pada 1945. Kala itu daya ledak bom nuklir yang dijatuhkan di dua kota di Jepang itu sebesar 20 kilo (ribuan) ton TNT. Sedangkan bom nuklir sekarang ini berdaya ledak lebih dari 70 mega (jutaan) ton TNT.
Tak terbayang apa jadinya dunia jika perang global sampai terjadi, ketika kekuatan dunia beradu senjata nuklir.
"Aku tak tahu senjata apa yang akan dipakai dalam Perang Dunia III. Namun, jika Perang Dunia IV sampai meletus, pertempuran akan dilakukan dengan menggunakan tongkat dan batu," kata Albert Einstein, merujuk pada hancurnya peradaban manusia jika pertempuran global sampai terjadi.
Bom nuklir memang dahsyat. Bahkan sejumlah orang mengatakan, para korban yang seketika tewas akibat ledakannya relatif 'beruntung'.
Tak hanya luka parah dan bahaya radiasi, pada 1980-an, para ilmuwan terkemuka termasuk Carl Sagan memperingatkan bahwa perang nuklir antara AS dan Uni Soviet bisa mendorong dunia ke dalam bencana musim dingin nuklir (nuclear winter).
Asap yang membumbung dari kota dan hutan yang gosong akan membentuk awan abu yang menghalangi cahaya matahari. Butuh waktu bertahun-tahun sampai partikel-partikel itu hilang.
Dalam skenario terburuk, diperkirakan 99 persen dari cahaya matahari akan terhalang selama beberapa bulan. Siang hari temaram bak senja. Proses fotosintesis mandek, itu berarti bahan makanan jadi langka.
Suhu permukaan Bumi bisa anjlok hingga puluhan derajat di bawah normal, selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Cuaca dingin menusuk serasa di Kutub Utara.
Dunia pun lumpuh. Tanaman, hewan dan manusia kemudian akan binasa di tengah kegelapan.
Wabah Maut
Pada tahun 2003, sindrom pernapasan akut berat atau Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) menyebar ke enam dari tujuh benua di dunia, hanya dalam beberapa bulan.
Penyakit itu kemudian menginfeksi sekitar 8.000 orang dan menewaskan 750 di antaranya.
Baru-baru ini, ebola -- penyakit mengerikan lainnya -- melanda Afrika Barat. Korban tewas mencapai lebih dari 11.000 orang.
Ebola terancam jadi pandemi pada akhir 2014 setelah muncul kasus wisatawan terjangkit setibanya di Amerika Utara dan Eropa.
Penyakit yang mewabah bisa menimbulkan terbesar, apalagi jika patogennya masih misterius dan belum ada vaksinnya.
Yang paling berbahaya jika muncul suatu penyakit sangat menular. Namun, orang yang terinfeksi tak sadar telah menyebarkannya ke banyak orang -- sebelum menyadari bahwa dirinya sedang sakit.
Penyakit yang berubah bentuk, yang bermutasi secara cepat sehingga hampir mustahil untuk dicegah dengan vaksinasi -- di dunia di mana manusia bermobilisasi dengan cepat -- bisa jadi malapetaka.
Advertisement