Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah akan memperkuat ekonomi domestik melalui investasi, selain mengandalkan sisi konsumsi pada tahun ini.
Strategi menggenjot investasi tersebut dilakukan untuk mengantisipasi kebijakan proteksionis dari Presiden Amerika Serikat (AS), Donald J. Trump.
"Kita harus memperkuat ekonomi domestik. Makanya sumber pertumbuhan ekonomi, yakni investasi perlu kembali didorong supaya makin berimbang dengan sisi konsumsi," jelas dia di Jakarta, seperti ditulis Minggu (5/2/2017).
Baca Juga
Advertisement
Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan investasi selama ini, terutama di kuartal III-2016 masih mengalami tekanan cukup tinggi. Untuk diketahui, pertumbuhan investasi di kuartal III tahun lalu 10,7 persen atau lebih rendah dari kuartal I sebesar 17,8 persen dan kuartal II sebesar 12,2 persen.
"Kita berharap prospek pertumbuhan dari semua sektor investasi, apakah perbankan, pasar modal, BUMN, atau pemerintah sendiri akan ditingkatkan dan diperkuat sehingga menciptakan daya tahan terhadap ketidakpastian ekonomi dari negara lain," tambah dia.
Sri Mulyani menambahkan, investasi sangat penting untuk menciptakan daya saing dan daya tarik bagi sektor-sektor manufaktur. “Untuk investasi, kita punya kemampuan untuk meng-attrack investor. Ada tren positif realisasi investasi, baik Penanaman Modal Asing (PMA) dan Dalam Negeri (PMDN)," jelasnya.
Pemerintah, kata dia, serius untuk mengurangi berbagai hambatan investasi. “Kita tidak ingin tergantung pada beberapa sektor saja. Itu tidak sehat untuk ekonomi kita,” tegas Sri Mulyani.
Terpisah, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Widjaja Kamdani mengungkapkan, Donald Trump telah membuktikan janji-janji kampanye di awal pemerintahanya, yakni menarik AS dari kerja sama perdagangan Trans Pacific Partnership (TPP) dan melarang imigran 7 negara masuk.
"Diprediksi banyak orang kan itu cuma janji kampanye Trump supaya menang, tapi buktinya dia merealisasikan di awal-awal pemerintahan," ucap dia.
Kekhawatiran Indonesia yang dapat berdampak pada investasi, kata Shinta adalah kebijakan Trump yang menurunkan pajak bagi perusahaan-perusahaan AS yang sudah menanamkan modal di negara lain untuk pulang dan berinvestasi di AS. Pajak yang diturunkan tak tanggung-tanggung dari 35 persen menjadi 10 persen.
"Itu insentif yang besar dari Trump buat perusahaan AS kembali berinvestasi di dalam negerinya. Tentu bisa berdampak kepada Indonesia," paparnya.
Ketua Umum APINDO, Hariyadi B. Sukamdani menambahkan, Indonesia perlu kebijakan ekstrem, seperti yang dilakukan Donald Trump di sejumlah sektor, salah satunya sektor energi.
"Kebijakan Trump itu ekstrem sekali. Kita juga perlu kebijakan ekstrem khususnya serius membangun dan membenahi industri. Tidak ada waktu lagi untuk trial dan error," tegas dia.
Hariyadi mengatakan, pengusaha akan melakukan ekspansi investasi dengan melihat permintaan pasar. Faktanya di Indonesia sekarang ini, daya beli melemah, konsumsi atau belanja masyarakat merosot.
"Jadi kita harus melakukan substitusi impor, supaya industri dalam negeri bangkit, masyarakat bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik sehingga daya beli meningkat," paparnya.
Di sektor otomotif misalnya, diakui Hariyadi, pabrikan kendaraan di Indonesia memiliki kapasitas yang besar. Produksi mobil bisa mencapai 2 juta unit, namun ekspor hanya 200 ribu unit. Sementara Thailand jauh mengungguli Indonesia.
"Kalau mau serius, kita punya potensi besar yang negara lain tidak punya, seperti populasi penduduk, sumber daya alam. Kekuatan ini justru harus digunakan, bila tidak serius, orang luar yang akan masuk ke dalam," harap Hariyadi.(Fik/Nrm)