Bos Samsung Tagih Janji Insentif Pajak, Ini Jawaban Menperin

Tax allowance terdiri atas pengurangan penghasilan netto sebesar 30 persen dari jumlah penanaman modal yang diberikan selama 6 tahun.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 05 Feb 2017, 18:36 WIB

Liputan6.com, Jakarta Wakil Presiden Direktur PT Samsung Electronics Indonesia, Lee Kang Hyun menagih janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas insentif pajak tax allowance. Pasalnya, perusahaan elektronik raksasa asal Korea Selatan ini sudah membangun pabrik ponsel di Indonesia sesuai permintaan pemerintah.

Menanggapi keluhan tersebut, Menteri Perindustrian (Menperin), Airlangga Hartarto mengaku, pihaknya sedang membahas insentif tax allowance dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Tax allowance itu dilihat juga, karena harus dibahas dengan Kemenkeu. Kita lihat kasus per kasus," ujar dia di Area Parkir Timur, Senayan, Jakarta, Minggu (5/2/2017).

Untuk diketahui, tax allowance terdiri atas pengurangan penghasilan netto sebesar 30 persen dari jumlah penanaman modal yang diberikan selama 6 tahun masing-masing 5 persen per tahun. Artinya pemerintah mengurangi jangka waktu pemberian tax allowance.

Menurut Airlangga, untuk bisa mengantongi tax allowance, perusahaan harus memenuhi syarat. Antara lain, syaratnya, pertama, jumlah tenaga kerja yang diserap. Kedua, tingkat komponen dalam negeri (TKDN), nilai investasi sebagai syarat ketiga dan keempat, orientasi ekspor.

Jadi tidak ada batasan investasi yang sebelumnya diatur minimal Rp 100
miliar dan penyerapan tenaga kerja lebih dari 100 orang.

 "Syaratnya itu harus dipenuhi. Dan bicara Samsung, mereka kan produk elektroniknya luas, seperti ponsel, televisi, dan lainnya. Ini (tax allowance Samsung) sedang diproses, belum menjadi kasus," tutur Airlangga.

Seperti diberitakan sebelumnya, Lee begitu panggilan akrabnya,
menceritakan masalahnya kepada Sri Mulyani. Dia bercerita, hingga saat
ini Samsung Electronic Indonesia sudah menginvestasikan modal di
Indonesia mencapai US$ 300 juta. Saat ini, kinerja ekspor perusahaan
mencapai US$ 1 miliar dan penjualan di pasar domestik US$ 2 miliar.

"Masalah serius saya bermula dari dua tahun lalu, setelah Pak Jokowi
menjadi Presiden, minta Samsung membangun pabrik ponsel di Indonesia.
Sudah dua kali bertemu Pak Presiden dan saya berjanji membangun pabrik
di Indonesia," ujar Lee.

Kala itu, dia bilang, pemerintah Indonesia menjanjikan insentif pajak berupa tax allowance kepada Samsung. Cerita berlanjut, tahun berikutnya, Samsung membangun pabrik ponsel di Indonesia karena
permintaan Jokowi dan Presiden Korsel Park Geun-hye.

"Ternyata waktu Peraturan Pemerintah (PP) keluar, ada sedikit masalah, mengenai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) 40 persen. Mana mungkin, lalu kami ketemu Sofyan Djalil dan Jokowi, kemudian diturunin 20 persen. Jokowi terlalu sibuk, terlambat tanda tangan PP, sekitar Mei atau Juni baru diteken," jelas Lee.

Akan tetapi, lanjut dia, Samsung sudah membangun pabrik, memproduksi, bahkan menjual ponsel sesuai permintaan Jokowi dan para menteri pemerintahan ini. Sayangnya, perusahaan kesulitan mendapatkan tax allowance seperti yang dijanjikan pemerintah.

"Pas kami mengajukan tax allowance dari kantor pajak, ditolak. Alasannya commisioning sebelum PP keluar. Saya ngerti pejabat kerja sesuai aturan," ujarnya.

Lee menambahkan, Samsung akhirnya mengajukan surat ke Presiden Jokowi, lalu diberikan ke Pokja IV. Pihaknya sudah rapat berkali-kali dengan Pokja 4, namun realisasinya masih nihil. Dia menagih janji konsistensi pemerintah Jokowi yang sangat penting bagi investor.

"Samsung sudah berinvestasi tahun ini dan ada perintah lagi dari Korsel, tapi saya masih nunggu. Nah ini Juli 2017 dari izin prinsip ke izin usaha tetap, kalau saya tidak dapat, ini (insentif pajak) bisa lenyap lagi. Bagaimana saya mau menambah investasi dan percaya lagi," keluh Lee.

Menanggapi keluhan tersebut, Menkeu Sri Mulyani mengaku akan segera
mempelajarinya. "Untuk spesifik kasus seperti ini, nanti saya lihat ya. Saya belum pernah mendengar, ini baru pertama kalinya. Tapi saya apresiasi," kata dia. (Fik/Nrm)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya