Liputan6.com, Jakarta - Kafir adalah istilah keagamaan (Islam) dalam bahasa Arab, yang secara harfiah berarti “(orang) yang menutup diri”. Bentuk noun-nya adalah “kufur” yang berarti “penyangkalan atau pengingkaran”. Secara istilah (terminologis), “Kafir” berarti “orang yang menutup atau menyangkal atau mengingkari “Kebenaran” (dengan K besar yang berarti Tuhan), sekaligus menutupi atau mengingkari bukti-bukti tentang adanya Kebenaran Tuhan.
Inilah karena dalam keyakinan umat beragama, semua agama, tidak ada kebenaran yang lebih mutlak, absolut dan tidak terbantahkan selain “Tuhan” itu sendiri. Bagi umat beragama, Tuhan diyakini bukan hanya sebagai Kebenaran, tapi sekaligus sumber dan rujukan dari semua “kebenaran”. Karena itu lazim dikatakan bahwa penyangkal Kebenaran (dengan K besar yang berarti Tuhan), disebut si Kafir, si Penyangkal.
Dalam perkembangan sejarahnya, istilah “Kafir” dapat dibedakan menjadi dua tingkatan: kafir mutlak/ absolut dan kafir nisbi/ relatif. Kafir absolut adalah orang yang sama sekali tidak percaya pada adanya “Tuhan” sebagai Pencipta segala yang ada, sekaligus sebagai yang maha mengatur jagat raya dan seisinya. Bagi mereka, alam dan jagat seisinya, termasuk dirinya sendiri, menjadi ada bukan karena (diciptakan) Tuhan, melainkan meng”ada” dengan dirinya sendiri, atau mengada secara alami. Dalam istilah filsafat, orang yang seperti ini dikenal dengan sebutan “atheist”, orang yang menyangkal adanya Tuhan.
Di samping Kafir absolut (atheis) ada yang disebut “Kafir Relatif/ Nisbi”. Yakni orang yang percaya kepada Tuhan sebagai Pencipta alam semesta, tapi dengan konsep “ketuhanan dan keagamaan” yang berbeda antara yang dianut oleh satu agama dengan kelompok agama yang lain. Tuhan, sebagaimana dikonsepsikan dan diyakini umat agama A, bisa berbeda dengan Tuhan yang diyakini oleh umat penganut agama B, C, D dan seterusnya. Bahkan boleh jadi dalam satu rumpun umat agama yang sama, katakanlah agama A, bisa muncul konsep yang lebih detail perihal Tuhan yang berbeda-beda.
Karena itu bisa dikatakan bahwa dilihat dari konsep ketuhanan yang diimani umat lain semua orang adalah kafir. Kekafiran seperti ini terkait dengan keyakinan pada satu doktrin ketuhanan tertentu yang diajarkan oleh agama tertentu. Atribut ke-kafir-an yang bersifat nisbi ini tertuju atau terlabelkan bukan pada orang yang sama sekali tidak percaya adanya Tuhan alias Atheis, melainkan terhadap orang atau komunitas yang tidak percaya kepada Tuhan yang dikonsepsikan dan diimani oleh penganut agama atau keyakinan yang berbeda.
Sebagaimana kita ketahui, semua agama bertumpu pada doktrin keimanan primer terhadap Tuhan. Bukan agama kalau tidak mendoktrinkan keimanan adanya Tuhan. Meskipun demikian harus diakui bahwa konsep Tuhan yang dirumuskan dan diyakini oleh masing-masing agama bisa berbeda antara yang satu dengan yang lain. Bahkan umat satu agama dengan mazhab atau aliran yang berbeda pun bisa memiliki konsep atau citra Tuhan yang berbeda pula.
Kenapa begitu? Sederhana saja jawabannya. Karena meskipun semua agama percaya pada Tuhan, dan mendoktrinkan umatnya untuk berserah diri kepada-Nya, tidak ada satu pun di antara mereka yang pernah bertemu, melihat sendiri secara kasat mata, dan berkomunikasi langsung dengan “Sosok” yang diklaim sebgai Tuhan itu. Toh mereka tetap percaya; itulah yang disebut “iman”; suatu “keberanian” luar biasa untuk mempercayai sekaligus mempertaruhkan “hidup” pada “Sosok” yang sama sekali belum dan tidak pernah dilihat dan disaksikan dengan mata kepala sendiri.
Maka bisa dimengerti, jika dikatakan bahwa iman adalah “hidayah” atau “bimbingan” Tuhan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jika saja iman kepada Tuhan sepenuhnya merupakan hasil pencarian manusia dengan akal-budi atau nalarnya, niscaya hanya para filsuf sajalah yang bisa menjadi manusia beriman. Nyatanya tidak. Bahkan tidak sedikit filosof yang secara aktif mendakwahkan kekufuran atau penyangkalan kepada Tuhan, alias atheis. Iman adalah “anugerah” bimbingan dan uluran tangan Tuhan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pemikir atau filosof ulung pun, jika tidak karena hidayah-Nya, niscaya akan tetap dalam penyangkalan (kekafiran) terhadap-Nya.
Memang sebagian orang, yang jumlahnya cukup banyak, besar kemungkinan menjadi beriman lebih karena keturunan, karena pengaruh lingkungan keluarga atau masyarakat sekitarnya. Itulah modal awal yang sangat berharga. Tapi tanpa refleksi yang lebih mendalam terhadap “keimanan” yang terberikan lewat lingkungan primernya, keimanan seperti itu akan mudah tergerus oleh pengaruh sekitar yang menafikannya. Keimanan seperti itu akan mudah goyang bahkan runtuh oleh ujian-ujian kehidupan sesaat.
Di sinilah letak urgensi dari aktivitas ritual berjamaah bersama komunitas seiman yang lazim dilakukan dalam tempat-tempat ibadah (masjid, gereja, vihara dsb) di bawah bimbingan para imam (tokoh-tokoh agama) lokal masing-masing. Khutbah para imam di sini memegang peranan penting untuk memelihara dan meneguhkan keimanan komunitas iman masing-masing. Tidak mudah dihindarkan karena adanya khutbah-khutbah pemupukan keimanan dalam bingkai fanatisme yang acapkali menyangkal atau merendahkan konsep keimanan pihak lain.
Di sinilah perlunya forum para pemimpin umat beragama sebagai kepala-kepala ‘suku’, untuk memupuk toleransi antar komunitas beriman/ beragama, minimal untuk menghindari konflik sesama; syukur-syukur bisa mendorong kerja sama bagi kemajuan sebangsa. Bagi bangsa Indonesia yang luar biasa plural, baik dalam keyakinan maupun etnik dan orientasi politiknya, dialog antar iman ini sangatlah dibutuhkan.
Kebinekaan bangsa Indonesia adalah kodrat, yang jika kita bisa rawat dan syukuri akan menjadi anugerah yang sangat indah. Sebaliknya jika gagal merawatnya, bahkan kita ingkari dan kufuri, maka seketika kebinekaan itu akan berbalik menjadi musibah dan kutukan yang menghancurkan segalanya. Semua itu tergantung kita sendiri, terutama para pemimpin agama, untuk membuktikan bahwa agama itu rahmat, bukan laknat!
Advertisement