Mirip Donald Trump, Capres Prancis Ini Juga Berpihak ke Rusia

Le Pen terang-terangan menunjukkan dukungannya kepada Rusia. Ia menentang anggapan bahwa Negeri Beruang Merah itu mencaplok Krimea.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 07 Feb 2017, 13:40 WIB
Marine Le Pen, pemimpin partai sayap kanan Perancis, Barisan Nasional (FN) (Reuters)

Liputan6.com, Paris - Pemimpin sayap kanan Prancis yang tengah bertarung dalam pilpres negara itu, Marine Le Pen, terang-terangan menunjukkan keberpihakannya kepada Rusia. Politisi kontroversial tersebut mengingatkan dunia pada sosok Donald Trump.

Le Pen yang berasal dari Barisan Nasional (FN) menyoroti isu aneksasi Semenanjung Krimea. Menurutnya, wilayah itu milik Rusia. Ia bahkan menentang bukti serbuan Moskow ke Ukraina. Demikian seperti Liputan6.com kutip dari Independent.co.uk, Selasa, (7/2/2017).

Perempuan berusia 48 tahun itu dengan tegas membantah setiap invasi yang terjadi dan sebaliknya, mengklaim "kudeta" di Ukraina menghasilkan transfer kekuasaan. Lebih lanjut, Le Pen menyebutkan bahwa sanksi terhadap Kremlin "sepenuhnya kebodohan" dan pemicu "masalah besar bagi Uni Eropa". Ia pun menyerukan agar sanksi dicabut.

Dalam wawancaranya dengan CNN, Le Pen yang dikenal memiliki pandangan kuat soal kedaulatan Prancis ditanyakan seputar Ukraina dan aneksasi Krimea.

"Ada kudeta di Ukraina...itu bukan hanya dugaan saya, itu kenyataan. Ada kesepakatan antara beberapa negara, tak lama perjanjian ini rusak, dan beberapa orang mengambil alih kekuasaan setelah referendum...Tidak ada invasi atas Krimea," terang Le Pen kepada pembawa acara, Christiane Amanpour.

Sang pembawa acara lantas mengutip memorandum 1994 Budapest di mana Ukraina setuju untuk menyerahkan gudang senjata Uni Soviet yang ada di wilayahnya. Sementara imbalannya, mereka mendapat jaminan keamanan dari masyarakat internasional.

Amanpour menegaskan kepada Le Pen bahwa Prancis merupakan bagian dari kesepakatan yang menjamin kemerdekaan Ukraina pada tahun 1994 tersebut. Pembawa acara CNN itu menekankan pentingnya konsistensi Prancis sebagai dasar-dasar hukum internasional.

"Krimea milik Rusia, selalu seperti itu. Rakyatnya merasa sebagai orang Rusia. Mayoritas dari mereka memutuskan ingin bergabung dengan Rusia. Jadi, kita tidak bisa tidak demokratis ketika yang terjadi tidak sesuai dengan kita dan menolak demokrasi ketika kita tidak menyukainya," jelas Le Pen.

Pernyataan Le Pen ini bertentangan dengan sikap sekutu Prancis, yakni Amerika Serikat dan Inggris yang menolak mengakui klaim Moskow atas wilayah yang berbahasa mayoritas Rusia itu. Lagipula, menurut hukum internasional, Krimea merupakan bagian dari Ukraina.

Pencaplokan Semenanjung Krimea oleh Rusia berlangsung pada Februari tahun 2014. Sebulan setelahnya, Kremlin menyelenggarakan referendum dengan hasil, 95 persen rakyat di wilayah itu ingin kembali bergabung dengan Negeri Beruang Merah.

Namun bagaimana pun, Inggris mencap pemungutan suara tersebut "menggelikan" dan "tidak sah". Akibat langkah tersebut, Rusia dihantam sanksi dan kritik tajam oleh Uni Eropa dan PBB.

Le Pen sendiri melihat, sanksi tersebut tidak berarti sama sekali.

"Sanksi ini benar-benar bodoh karena sama sekali tidak memecahkan masalah dan tidak memperbaiki situasi. Yang ada justru menciptakan masalah ekonomi utama bagi UE," ungkap Le Pen.

"Itu (sanksi) tidak berguna, mungkin kita harus mencabutnya. Presiden AS dan Presiden Rusia bisa mengakhiri Perang Dingin, tidak ada orang lain yang bisa melakukannya," pungkas politisi sayap kanan itu.

Sementara itu, utusan Amerika Serikat untuk PBB pilihan Trump, Nikki Haley telah mengutuk "tindakan agresif" Rusia di Ukraina. Haley menegaskan, sanksi atas Rusia akan tetap berlaku.

Le Pen telah lama menjadi pendukung setia Presiden Vladimir Putin. Dan ini bukan kali pertama ia membantah pencaplokan Krimea.

Pada tahun 2015, peretas Rusia merilis laporan yang menjadi dasar tuduhan bahwa Le Pen telah menerima puluhan juta euro dari bank Rusia sebagai imbalan atas dukungannya terhadap aneksasi Krimea. Namun tudingan ini dibantahnya.

Pernyataan kontroversial Le Pen lainnya adalah ia akan melindungi rakyat Prancis dari globalisasi. Capres Prancis ini juga mengancam akan membawa negaranya keluar dari Uni Eropa jika organisasi kawasan itu menolak negosiasi yang ditawarkannya.

Ukraina sendiri mengindikasikan tidak akan menerima Le Pen di negara itu terkait dengan komentarnya soal pencaplokan Krimea.

"Membuat pernyataan yang mengulang propaganda Kremlin, politisi Prancis menunjukkan sikap tidak hormatnya terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina serta benar-benar telah mengabaikan prinsip-prinsip dasar hukum internasional," ungkap pemerintah Ukraina dalam sebuah pernyataan.

"Pernyataan dan tindakan yang melanggar UU Ukraina tentu akan memiliki konsekuensi, seperti kasus sejumlah politisi Prancis yang ditolak masuk ke Ukraina," tulis pernyataan itu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya