Liputan6.com, Jakarta - Skenario penyelamatan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera tengah dibahas antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Komisi XI DPR. Perusahaan asuransi yang lahir pada 1912 itu sudah dililit berbagai masalah, mulai dari penerapan tata kelola perusahaan sampai miss management yang mempengaruhi neraca keuangan Bumiputera.
Kepala Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK, Firdaus Djaelani mengungkapkan, AJB Bumiputera merupakan perusahaan asuransi dengan status mutual atau usaha bersama. Dalam sejarahnya, AJB Bumiputera didirikan pada 1912 oleh tiga orang guru, berbentuk asuransi jiwa bersama yang berkantor pusat di Magelang, Jawa Tengah.
"Ketika pertama kali didirikan pada 1912, tanpa modal. Kemudian pemerintah Hindia Belanda memberikan dana operasional ke AJB Bumiputera sebesar 300 Gulden setiap bulan. Suntikan itu berlangsung sejak Oktober 1913 sampai 1923," ujar dia di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (7/2/2017).
Selanjutnya, kata Firdaus, Majelis Perwakilan Anggota berubah menjadi Bahan Perwakilan Anggota (BPA) yang merupakan lembaga tertinggi di AJB Bumiputera. Yang mewakili BPA adalah pemegang polis yang memiliki hak mendapatkan reversionary bonus, yaitu bonus yang tidak langsung dibayarkan tunai, biasanya berupa penambahan uang pertanggungan.
Baca Juga
Advertisement
"Jadi pemegang polis ini kalau perusahaan memperoleh laba, maka mereka mendapatkan bunga dan bonus dari perjanjian. Seperti dividen kalau di Perseroan Terbatas (PT)," ucap dia.
Firdaus menjelaskan, konsep mutual atau usaha bersama belum diatur dalam Undang-undang (UU) khusus. Akan tetapi sudah ada penjelasan di UU Asuransi. Pemegang polis yang menerima reversionary bonus hanya 13,6 persen, sementara yang non 86,4 persen.
"Gejala permasalahan Bumiputera karena struktur pemegang polis masuk BPA, sehingga governance belum jalan, terjadi miss management," tegas Firdaus.
Dia menjelaskan, ada 11 orang yang mewakili setiap daerah di BPA AJB Bumiputera. Berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jakarta, Kalimantan, dan lainnya. "Mekanisme governance kurang bagus sehingga sering ditumpangi oleh kepala cabang untuk mendorong seseorang menjadi anggota BPA. Dan di sanalah jadi cantelan untuk menyandang jabatan," ujar dia.
"Belum lagi miss management sehingga dalam perjalanannya, Bumiputera banyak mengalami gap antara aset dan kewajiban (premi dan klaim)," tambah dia.
Menurut Firdaus, pemegang polis AJB Bumiputera mencapai 6 juta dan tidak semua memiliki hak reversionary bonus. Jadi saat ada kerugian di tubuh Bumiputera, BPA ini tidak mau menanggung rugi bersama, seperti saat mendapatkan laba ketika perusahaan untung.
"Pemimpin tertinggi di Republik ini (Presiden) meminta supaya dicarikan jalan keluar dari perusahaan mutual ini supaya pemegang polis terselamatkan. Kemudian kita coba memilih komunikasi, apakah BPA mau bagi rugi, tapi tidak mungkin dilakukan. Akhirnya karena kita mau selamatkan 6 juta polis, maka langkahnya restrukturisasi," terang dia.
Restrukturisasi penyelamatan Bumiputera, kata Firdaus dimulai dengan mengganti seluruh direksi dan komisaris perusahaan dengan pengelola statuter. "Pengelola statuter ini bertanggungjawab kepada OJK dengan tugas-tugas, seperti penyelamatan dana, dan lainnya. Operasional perusahaan tetap jalan, penjualan polis di daerah tetap berjalan seperti biasa," ujar dia.