Liputan6.com, New York - CEO dari toko e-commerce terbesar Alibaba Jack Ma sedang menjadi sorotan. Pasalnya, pria asal China ini berjanji untuk membuka 1 juta lapangan pekerjaan baru untuk penduduk Amerika Serikat (AS). Niatnya ini pun mendapat persetujuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Keputusan Donald Trump untuk mengizinkan pebisnis asal China masuk ke AS bukan hanya untuk CEO Alibaba Group. Sebelumnya, perusahaan asuransi asal Beijing Anbang Insurance Group dan perusahaan elektronik Hon Hai Precision juga berniat menanam investasi di Amerika Serikat.
Walau tengah banyak dikritik akan kebijakannya untuk melarang imigran masuk ke Amerika Serikat, di sisi lain Trump tetap mengijinkan perusahaan besar China untuk beroperasi di Amerika Serikat.
Baca Juga
Advertisement
Seperti dikutip dari Forbes, Jumat (10/2/2017), banyak analis menilai hal ini justru dapat berdampak positif bagi Amerika Serikat. Lapangan pekerjaan yang dibuka akan sesuai dengan visi Trump saat menjabat Presiden.
"Masa pemerintahan Trump akan mengijinkan berbagai investasi dari pemerintah China dalam bentuk real estate dan ekuitas pribadi. Investor Amerika yang memiliki hubungan dekat dengan Trump pun akan memanfaatkan hal ini untuk membentuk hubungan positif dengan pebisnis China," ungkap Managing Director Perusahaan Inggris Ellice Consulting James Berkeley.
Lebih lanjut, investasi yang dilakukan oleh pebisnis China juga dianggap sebagai kesempatan besar bagi Amerika. Hingga kini, banyak perusahaan China yang ingin mengekspansi lini bisnisnya keluar negri dikarenakan persaingan dalam negri yang semakin ketat.
Dilaporkan, investasi perusahaan China di luar negri mencapai US$ 63,9 miliar di kuartal ketiga tahun 2016. Jumlah tersebut naik dari sebelumnya yang tidak mencapai US$ 3 miliar per tahun sejak 2005.
"Akan ada peluang bagi Perusahaan China untuk meningkatkan investasi mereka di Amerika Serikat ditengah iklim politik saat ini. Setiap investasi tersebut bisa dijadikan sebagai bentuk kompensasi dan perbaikan defisit perdagangan," tutur analis dari Murdoch University di Australia, Jeffrey Wilson. (Vna/Gdn)