Saat Pelaku dan Korban Pemerkosaan Muncul di Satu Panggung

Thordis Elva dan Tom Stranger disatukan oleh masa lalu yang kelam. Pada 1996, mereka terlibat dalam insiden pemerkosaan.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 09 Feb 2017, 10:04 WIB
Thordis Elva dan Tom Stranger menceritakan pengalaman kelam mereka. (TED)

Liputan6.com, Islandia - Thordis Elva dan Tom Stranger disatukan oleh masa lalu yang kelam. Pada 1996, mereka terlibat dalam insiden pemerkosaan. Keduanya adalah korban dan pelaku.

Elva yang asal Islandia baru berusia 16 tahun saat menjadi korban kekerasan seksual. Sementara, Stranger--yang kala itu adalah kekasihnya--berumur 18 tahun. Pria itu adalah peserta pertukaran pelajar asal Australia.

Belakangan, 20 tahun kemudian, Elva dan Stranger muncul bersama. Selama 19 menit di panggung TED, keduanya berbagi soal dampak pemerkosaan kepada hidup mereka.

Seperti dikutip dari Daily Mail, Rabu (8/2/2017), kesaksian mereka direkam tahun lalu. Sebelumnya Elva dan Stranger menulis sebuah buku yang menceritakan pengalaman buruk tersebut.

Semua berawal sepulang pesta Natal. Elva dan Stranger yang baru pacaran sebulan menuju ke rumah korban.

Awalnya, perempuan itu merasa tersanjung saat kekasihnya membopongnya ke tempat tidur. Mirip cerita dalam dongeng.

"Seperti dongeng, tangannya yang kuat merangkulku, meletakkanku hati-hati di atas tempat tidur," kata Elva.

Namun, perasaannya yang berbunga-bunga berubah horor seketika, saat orang yang dicintainya, yang dipercaya, menjelma menjadi penjahat seksual.

Elva mengaku terlalu lemah untuk melawan. Tak terkira rasa sakit, fisik dan psikis yang dialaminya selama dua jam itu.

"Sejak malam itu, aku menyadari bahwa ada 7.200 detik dalam satu jam." Sebab, ia menghitung detik demi detik agar pikirannya tetap sadar.

Sementara, Stranger mengaku ia tak merasa apa yang dilakukannya adalah pemerkosaan.

"Ingatanku kabur pada hari berikutnya (setelah kejadian)," kata dia.

Thordis Elva dan Tom Stranger disatukan oleh masa lalu yang kelam (TED)

Efek setelah minum-minum membuatnya tak menyadari apa yang telah ia lakukan. Stranger kala itu menolak tudingan pemerkosaan.

"Aku mengingkari kebenaran dengan meyakinkan diri sendiri itu adalah hubungan seks, suka sama suka, bukan pemerkosaan," kata dia. "Sebuah kebohongan yang sangat kusesali."

Elva dan Stranger putus hubungan beberapa hari kemudian. Stranger pulang ke Australia, sementara Elva berjuang membuktikan bahwa apa yang telah ia alami adalah pemerkosaan.

"Aku dibesarkan di dunia di mana gadis-gadis diberitahu mereka diperkosa karena suatu alasan," kata dia. "Entah karena rok kependekan, senyum yang terlalu lebar, napas bau alkohol. Aku merasa bersalah atas banyak hal."

Elva, yang adalah korban kekerasan seksual, justru merasa malu dan bersalah.

Rekonsiliasi

Sembilan tahun kemudian, Elva yang mengalami gangguan saraf akibat trauma itu, berada di sebuah kafe. Impulsif, ia menulis surat panjang lebar untuk Tom Stranger.

"Aku menuntut maafmu," itu yang ditulis Elva kala itu. Ia lalu sadar, itu adalah cara untuk lepas dari penderitaan.

"Terlepas dari apakah ia pantas mendapat pengampunan, aku berhak mendapatkan kedamaian," kata dia.

Elva dan Stranger beberapa kali bertukar surat. Enam belas tahun setelah kejadian, mereka sepakat bertemu kembali.

Awalnya lokasi pertemuan direncanakan di Islandia atau Australia. Namun keduanya kemudian bersua di Cape Town. Seminggu itu, Elva dan Stranger berbagi kisah tentang hidup mereka.

"Apa yang kulakukan saat itu adalah menyakitinya, sedalam ia menyakitiku," kata Elva.

Namun, berbicara, termasuk soal kejadian traumatis itu adalah katarsis. "Selalu ada terang setelah gelap," kata Elva.

Kemudian, Elva dan Stranger menulis buku bersama. Judulnya, South of Forgiveness.

"Kesalahan yang pernah Anda lakukan bukan jadi penentu keseluruhan diri Anda," kata Stranger.

"Jangan meremehkan kekuatan kata-kata. Mengakui pada Thordis (Elva) bahwa aku memerkosanya telah mengubah pendirianku, juga dia," kata pria itu.

"Namun, yang paling penting adalah memindahkan rasa bersalah dari Thordis ke aku. Lebih sering penyintas kejahatan seksual, bukan pria yang melakukannya, yang menanggung beban itu."

Elva sepakat dengan pendapat itu. "Ini saatnya kita berhenti memperlakukan pemerkosaan sebagai masalah perempuan."

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya