Liputan6.com, San Francisco - Kebijakan anti-imigran muslim Presiden Donald Trump tetap tak bisa dilaksanakan. Pasalnya, banding yang diajukan pemerintah AS kalah di pengadilan federal yang diputuskan pada Kamis, 9 Februari 2016 waktu setempat.
Sebelumnya, dalam debat panas di Pengadilan Banding Sirkuit 9 yang berkedudukan di San Francisco, Jaksa Agung negara bagian Washington dan Minnesota berpendapat bahwa perintah pembatalan sementara (temporary restraining order) tetap diberlakukan karena presiden telah "menimbulkan gejolak" ketika menandatangani perintah eksekutif yang ditentang dua jaksa tersebut.
Advertisement
Itu berarti, keputusan dari tiga hakim panel membatalkan perintah eksekutif Donald Trump yang melarang warga dari tujuh negara muslim Amerika Serikat.
"Di satu sisi, masyarakat memiliki minat yang kuat dalam keamanan nasional namun sekaligus meragukan kemampuan seorang presiden terpilih untuk memberlakukan kebijakan," tulis para hakim seperti dikutip dari CNN, Jumat (10/2/2017)
"Dan di sisi lain, masyarakat juga menginginkan adanya kebebasan tiap individu untuk masuk ke AS, menghindari pemisahan keluarga, dan kebebasan dari diskriminasi. Oleh sebab itu, banding kami ditolak."
Penolakan di pengadilan banding ini merupakan kemunduran politik yang signifikan bagi pemerintahan baru Trump dan menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana pengadilan akan melihat visi Presiden Trump dalam menjalankan kekuasaan eksekutif.
Atas reaksi itu, Presiden Donald Trump geram. Melalui akun Twitter pribadinya, dengan huruf kapital, ia menulis, "Sampai jumpa di pengadilan lagi, keamanan nasional kita dibuat taruhan!"
Sementara, kepada wartawan di Gedung Putih, Trump mengatakan, "Keputusan itu jelas dipolitisir, kami akan bertemu lagi di pengadilan, dan saya tak sabar menanti."
"Kami pasti menang, saya yakin itu," lanjutnya.
Adapun mantan lawan Trump dalam pemilihan presiden lalu, Hillary Clinton berkicau di Twitternya atas keputusan itu. Ia cukup menulis, "3-0."
Keputusan pembatalan kebijakan anti-imigran muslim itu datang dari negara bagian Washington dan Minnesota.
"Secara garis besar, ini adalah kemenangan bagi negara bagian Washington," kata pernyataan Jaksa Agung untuk negara bagian Washington, Bob Ferguson.
"Pengadilan Banding Sirkuit 8 mengeluarkan keputusan bulat atas apa yang kami minta," lanjutnya.
Sementara itu, Departemen Kehakiman AS tengah mengkaji keputusan itu.
Kekuasaan Eksekutif Dipertanyakan
Drama pergolakan hukum terkait perintah eksekutif Donald Trump tentang anti-imigran ini adalah episode pertama yang bakal dihadapi pemerintah baru itu. Akan ada sejumlah tantangan lainnya terkait dengan gaya pemerintahan Presiden Trump.
Peristiwa ini juga menjadi konfrontasi pertama antara yudikatif dan eksekutif dalam sistem politik AS.
Para hakim menolak klaim Trump yang mengatakan yudikatif mencampuri kekuatan eksekutif.
"Tidak ada hal seperti itu, kami melihat keputusan itu justru bertentangan dengan struktuf fundamental dan demokrasi kita," ujar panel hakim di Pengadilan Banding Sirkuit 9.
"Yurisprudensi kami telah lama menghormati cabang politik dalam masalah imigrasi dan keamanan nasional. Baik Mahkamah Agung atau pengadilan berwenang untuk meninjau tindakan eksekutif," lanjutnya
Negara bagian memiliki hak hukum untuk hadir di pengadilan jika perintah eksekutif itu telah "melukai" bisnis serta institusi pendidikan negara bagian itu.
Tiga hakim federal yang memberikan suara bulatnya terhadap pembatalan kebijakan anti-imigran muslim Trump itu adalah hakim Michelle T. Friedland yang ditunjuk pada masa pemerintahan Presiden Obama, William C. Canby Jr hakim yang ditunjuk Presiden Jimmy Carter, dan Richard R. Clifton yang ditunjuk George W Bush.