Liputan6.com, Washington, DC - Untuk pertama kalinya, Presiden Donald Trump telah berbicara langsung dengan Presiden Xi Jinping via telepon. Kepada orang nomor satu di China itu, Trump mengatakan ia tidak akan menantang Beijing dengan membalikkan kebijakan lama AS soal "Satu China".
Seperti dilansir The Guardian, Jumat, (10/2/2017), dalam keterangannya Gedung Putih menyebutkan, percakapan via telepon antara Trump dan Xi berlangsung lama dan dalam suasana yang sangat ramah. Ada banyak topik yang dibahas.
"Atas permintaan Presiden Xi, Presiden Trump setuju untuk menghormati kebijakan 'Satu China'," demikian pernyataan Gedung Putih yang merujuk pada pemahaman diplomatik bahwa AS akan melihat Taiwan sebagai bagian dari China.
Saluran televisi Tiongkok, CCTV, mengatakan pada Jumat waktu setempat, Presiden Xi memuji komitmen Trump soal Taiwan sekaligus berharap kerja sama akan menguntungkan kedua negara juga setiap warga negara lainnya.
Sebelum dilantik menjadi presiden, Trump pernah mengejutkan Beijing dengan mempertanyakan komitmen pemerintah AS atas kebijakan "Satu China". Tak hanya itu, ia juga memancing emosi Tiongkok melalui perbincangan via teleponnya dengan Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen.
Sejumlah pihak telah memperingatkan situasi "genting" antara Beijing dan Washington dapat mendatangkan era baru yang berbahaya--dipicu naiknya Trump ke puncak kekuasaan.
Bonnie Glaser, direktur pusat studi China di CSIS mengatakan, percakapan telepon antara Xi dan Trump yang telah ditunggu-tunggu cukup lama--tiga pekan setelah pelantikan--akan membantu menenangkan kepanikan atas anggapan hubungan kedua negara berada di ambang kerusakan.
Baca Juga
Advertisement
"Menurut saya, seluruh wilayah akan menarik napas lega. Kita berharap bahwa pemahaman yang telah dicapai ini memungkinkan China dan AS mencegah terjadinya krisis besar," kata Glaser.
Glaser sendiri meyakini bahwa China telah mengurungkan niat untuk menghubungi Trump lebih dulu setidaknya sampai Beijing yakin Trump tidak berusaha menantang mereka soal Taiwan.
"China tidak bersedia menjalin komunikasi kecuali sampai mereka yakin bahwa itu akan menyelesaikan persoalan ini. Ada diskusi yang tengah berlangsung di pemerintahan Trump selama beberapa minggu terakhir tentang apa yang harus dilakukan. Sangat jelas bahwa hubungan kedua negara akan beku jika Trump tidak mengambil posisi tegas," terang analis CSIS tersebut.
Dalam pernyataannya, Gedung Putih juga menjelaskan, baik Trump maupun Xi saling melayangkan undangan kunjungan dan pejabat kedua negara juga akan terlibat dalam "diskusi dan negosiasi terkait berbagai isu yang menjadi kepentingan bersama".
"Presiden Trump dan Presiden Xi menanti kesempatan untuk melakukan pembicaraan lanjutan dengan harapan mendatangkan kesuksesan yang lebih besar," sebut Gedung Putih.
Paul Haenle, seorang veteran diplomat AS yang juga merupakan direktur Pusat Carnegie-Tsinghua di Beijing mengatakan ia meyakini bahwa keputusan akhir Trump untuk menghormati kebijakan "Satu China" tidak lepas dari pengaruh Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson.
"Trump telah bermain-main dengan gagasan itu demi mendapat keuntungan tapi belakangan ia yakin hal tersebut demi kepentingan AS. Dan memang demikianlah, kebijakan 'Satu China' bukan sesuatu yang dijalankan karena itu baik bagi Beijing, melainkan untuk kepentingan AS," ungkap Haenle.
"Ini berita baik dan perkembangan positif bagi hubungan kedua negara. Ini memungkinkan AS-China untuk mencari solusi atas isu-isu yang lebih sulit seperti perdagangan, Korea Utara, dan Laut China Selatan," imbuhnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Shen Dingli, seorang profesor hubungan internasiona dari Fudan University di Shanghai. Dingli sebelumnya sempat menyerukan agar Tiongkok menutup kedubesnya di Washington menyusul berbagai langkah kontroversial Trump.
"Ini baik bagi kedua negara dan Asia Pasifik. Sekarang kita memiliki hubungan yang dapat diprediksi," kata dia.