Turki Gelar Referendum 16 April, Posisi Presiden Diperkuat

Turki akan menggelar referendum untuk mengganti sistem parlemen menjadi kepresidenan yang kuat, hal ini diinginkan oleh Presiden Erdogan.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 12 Feb 2017, 17:14 WIB
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (Reuters)

Liputan6.com, Ankara - Turki akan menggelar referendum pada 16 April mendatang untuk mengganti sistem parlemen menjadi kepresidenan yang kuat.

Sistem baru itu yang diinginkan oleh petahana Presiden Recep Tayyip Erdogan. Adapun rencananya referendum akan digelar pada 16 April 2017 mendatang.

Usulan reformasi konstitusi ini menandai salah satu perubahan terbesar untuk kandidat negara Uni Eropa semenjak negara ini didirikan pada kekaisaran Ottoman hampir satu abad yang lalu.

Sistem itu akan memungkinkan presiden untuk mengeluarkan dekrit, menyatakan keadaan darurat, dan menunjuk menteri dan pejabat negara . Hal ini juga memungkinkan Erdogan tetap berkuasa di negara anggota NATO sampai 2029. Demikian melansir AP pada Minggu (12/1/2017)

Pendukung Erdogan melihat rencana perubahan itu sebagai jaminan stabilitas pada saat menghadapi gejolak. Apalagi keamanan Turki terancam oleh perang di negara tetangga Suriah dan Irak dan dengan serentetan serangan ISIS dan militan Kurdi.

Namun, demikian oposisi takut negara itu akan menghadapi otoritarianisme. Terlebih, setelah kudeta militer gagal, negara telah menahan puluhan ribu orang, dari guru, jurnalis, tentara, hingga polisi.

Mencari dukungan dari pemilih nasionalis, Erdogan memperingatkan orang-orang yang menolak perubahan.

Termasuk peringatan Erdogan kepada Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang telah melawan negara selama lebih dari tiga dekade dari kamp di pegunungan Qandil dari utara Irak.

"Siapa bilang 'Tidak'? PKK mengatakan tidak. Siapa pilih 'Tidak'? Qandil mengatakan tidak. Siapa pilih 'Tidak'? Mereka yang ingin memecahkan negara ini dengan mengatakan tidak. Mereka yang menolak bendera kita yang mengatakan tidak," kata Erdogan kepada anggota pro-pemerintah di Istanbul.

Kekuasaan eksekutif presiden diperlukan, kata Erdogan, "untuk menghindari koalisi parlemen rapuh dari masa lalu,".

Erdogan mengatakan 65 pemerintahan dalam 93 tahun republik Turki modern, masing-masing hanya berlangsung rata-rata tiap 16 bulan.

Dua partai oposisi utama - partai sekuler CHP dan HDP pro-Kurdi - mengatakan perubahan itu akan semakin memperkuat pengaruh Erdogan atas pemerintah.

Seperti hampir semua pidatonya, komentar Erdogan pada hari Sabtu disiarkan langsung di beberapa saluran televisi dan, selama kampanye akan berlangsung, politisi oposisi mengatakan mereka akan ramai keluar.

"Ini jelas bakal menjadi referendum yang tak adil. Kami tahu media pro-Erdogan akan terus menayangkannya, tak mempedulikan apa kata oposisi," kata ketua CHP, Kemal Kilicdaroglu dalam diskusi dengan media.

"Media itu akan memutarbalikan fakta bahwa kami akan melawan negara," tambahnya sambil mengatakan 90 persen media berada di bahwa pengaruh pemerintah.

Adapun pendukung nasionalis Partai MHP-- partai suara keempat terbesar di parlemen-- terpecah. Para mantan petingginya dan anggota parlemen mendukung 'ya' dalam referendum. Namun, beberapa anggota yang memiliki pengaruh, menolak.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya