Liputan6.com, Semarang - Baru diresmikan sekitar seminggu lalu, trotoar di sekitar Jalan Dago, Bandung, kembali terlihat kumuh. Sampah-sampah berserakan di bawah kursi bagi pejalan kaki. Hal itu memancing kemarahan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
Melalui akun Instagramnya @ridwankamil, ia menegur para pembuang sampah tidak bertanggung jawab itu dengan #KelasMenengahNgehe. Ia bahkan sempat memberikan jari tengah sebagai simbol penghinaan kepada mereka yang meninggalkan sampahnya sembarangan.
"Buat anda2 #KelasMenengahNgehe yang menikmati trotoar dago yang baru tapi nyampah seperti ini. Ini pesan dari kami: Salam jari tengah," tulis Ridwan Kamil, Minggu, 12 Februari 2017.
Sejumlah tokoh bereaksi atas unggahan keras pria yang akrab disapa Emil itu. Salah satunya adalah Komisaris Utama PT Adhi Karya Fadjroel Rachman. "dikirim teman, trotoar bandung sudah seperti di barcelona kata kang @ridwankamil tapi sayang oknum warga msh nyampah tak membantu walkotnya berbenah bandung," tulis Fadjroel.
Baca Juga
Advertisement
Sementara itu, pemilik akun @gilangsyawalajipu bahkan mengembangkan pengertian kelas menengah ngehe berdasarkan teori kelas yang dipelopori Karl Max. Menurut si pemilik akun, kelas menengah dalam pengertian kaum Marxis adalah kelompok penerima gaji dengan harapan menjadi borjuis dan enggan dianggap sebagai proletar.
Gilang kemudian membagi kelas menengah itu menjadi kelas menengah tertindas dan #kelasmenengahngehe. Perbedaan antara kedua kelompok itu terletak pada kesadaran politik, sosial, lingkungan, dan ekonomi yang mumpuni.
"kelas menengah ngehe adalah orang-orang yg hidup dengan gaya borjuasi tetapi bukan borjuasi. Mereka hidup dari pendapatan yang cukup bahkan lebih, dan hidup konsumtif. Kesadaran politik kelas menengah ngehe sangat rendah atau bahkan tidak ada," tulis Gilang.
Terkait trotoar itu, Ridwan Kamil sengaja menempatkan kursi-kursi di area trotoar sebagai cara untuk memanusiakan manusia. Ia terinspirasi dengan suasana trotoar di sejumlah negara Eropa yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat lalu lalang pejalan kaki, tetapi juga tempat berinteraksi antarwarga dan menikmati lingkungan sekitar.
"Kota yang bahagia adalah kota yang memanusiakan manusia," kata Emil.