Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Pilkada diadakan secara serentak pada 15 Februari 2017. Setidaknya, sebanyak 101 daerah yang terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota akan terlibat dalam Pilkada tersebut. Pilkada serentak ini tentunya menjadi momentum yang sangat dinanti-nantikan oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia dan akan menjadi Pilkada paling ramai, jika dibandingkan dengan Pilkada sebelumnya.
Jika kita menelusuri ke belakang, kekurangan pada pemilihan umum sering kali terjadi di Indonesia disebabkan faktor human error atau sistem pendukung pelaksanaan yang tidak berjalan secara baik. Beberapa masalah yang kerap timbul pada pemilihan umum di antaranya adalah banyaknya masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, adanya penggandaan pada daftar pemilih tetap, dan juga lambatnya tabulasi data serta penghitungan suara karena infrastruktur teknologi komunikasi yang lemah.
Kualitas pemilihan umum di Indonesia sebenarnya saat ini sudah mengalami peningkatan signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Contohnya pada 2014, pemerintah mulai menerapkan teknologi pada sistem pendaftaran pemilihan umum untuk mempermudah dan mempersingkat proses.
Daftar pemilih Indonesia pun berubah dari daftar yang dikumpulkan secara manual, menjadi daftar berbasis data yang terkomputerisasi, terpusat, dan mudah diakses oleh berbagai pihak. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa ke depannya proses pemilihan umum secara elektronik (e-Voting) akan menjadi pertimbangan bagi Indonesia untuk dapat mengatasi pelanggaran-pelanggaran pada pemilihan umum.
Baca Juga
Advertisement
Bentuk pelanggaran yang kerap kali terjadi pada pemilihan umum di Indonesia salah satunya adalah praktik money politics, seperti kertas pemungutan suara yang dapat dilihat oleh pihak lain serta kotak pemungutan suara yang secara mudah dapat dipalsukan.
Menurut hasil laporan analisis media oleh Indonesia Indicator selama periode 16 Maret hingga 7 Mei 2014, praktik money politics terjadi pada kegiatan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 dan memiliki tingkat sorotan media paling besar yakni 52 persen. Praktik seperti ini sesungguhnya dapat dicegah dengan menggunakan solusi teknologi.
Misalnya, memberikan nomor identitas elektronik yang hanya dapat digunakan satu kali dan tidak dapat digunakan oleh orang lain ketika melakukan e-Voting. Pemilih dapat menggunakan NIK pada e-KTP, atau ke depannya dapat menggunakan teknologi biometrik seperti pemindai sidik jari atau iris mata, yang lebih aman dan personal. Data ini beserta hasil pemilihan akan disimpan secara otomatis pada perangkat yang terhubung dengan komputasi awan, sehingga hasil pemilihan dapat diproses secara lebih cepat.
Dalam sistem pemilihan umum konvensional, petugas perlu membuka kertas suara satu per satu dan perlu waktu cukup lama untuk penghitungan dari masing-masing TPS. Sementara, melalui e-Voting, data dari masing-masing TPS secara otomatis ditampung oleh peladen (server), sehingga kita dapat menghasilkan penghitungan data secara lebih cepat dan akurat, dan juga menghindari kesimpangsiuran data akibat hasil penghitungan cepat (quick count) yang dilakukan oleh lembaga survei yang berbeda-beda.
Teknologi juga bisa membantu KPU saat mendeteksi adanya kecurangan-kecurangan selama terjadinya pemilihan. Salah satu teknologi yang sangat efektif di sini adalah teknologi machine learning yang bisa mengenali perilaku pemilih di setiap tempat di Indonesia, sehingga setiap penyimpangan dapat diketahui akurat. Machine learning bahkan bisa melangkah lebih jauh lagi dengan memprediksi siapa yang akan menang, meskipun perolehan suara belum selesai dihitung.
Salah satu tantangan di dalam pemilihan umum adalah tidak kenalnya si pemilih dengan pasangan calon. Sering kali pemilih hanya mencoblos berdasarkan paras wajah di foto, tetapi bukan programnya. Di sini, e-Voting dengan menggunakan teknologi tablet bisa membantu memberikan informasi-informasi yang ingin diketahui oleh si pemilih pada saat-saat terakhir sebelum pemilih "mencoblos" secara digital.
Pemilih juga bisa diberikan dua kali kesempatan untuk mengubah pilihan, meski sudah "mencoblos". "Mencoblos" di sini maksudnya adalah menentukan pilihan. Jika menggunakan teknologi tablet, mencoblos bisa dilakukan dengan menyentuh foto tokoh pilihan menggunakan jarinya, atau menekan tombol tertentu yang disediakan.
Sistem e-Voting juga bisa efektif mengatasi money politics. Misalnya, Parpol X menjanjikan akan memberikan uang sekian rupiah asalkan si pemilih bisa menunjukkan foto tokoh X yang "dicoblos" dan ini dibuktikan dari foto di smartphone miliknya. e-Voting bisa dibuat supaya di bagian akhir tampil pilihan gambar apa yang ingin difoto untuk bukti si pemilih. Jadi, sangat mungkin bahwa si pemilih sebenarnya mencoblos calon"Y", tetapi meminta sistem e-Voting menampilkan calon "X", sehingga ketika difoto, yang tampil adalah "X".
Tentunya sistem e-Voting ini memerlukan kesiapan matang dari sisi penyelenggara dan juga dari sisi masyarakat, selain juga dari sisi infrastruktur internetnya. Sumber daya manusianya pun memerlukan sosialisasi lebih matang dengan dibantu pelatihan menggunakan sistem e-Voting yang dijalankan melalui fasilitas komputasi awan. Dengan menggunakan komputasi awan, pelatihan bisa dijalankan dengan murah dan massal.
Untuk selanjutnya, e-Voting bisa diterapkan secara bertahap. Misalnya, tahapan paling mudah adalah membuat solusi hibrida menggunakan sistem pemilihan dengan kertas, tetapi ditopang oleh penggunaan teknologi komputasi awan di bagian pemprosesannya. Untuk selanjutnya, perlahan-lahan semua proses yang terjadi di dalam pemilihan umum bisa menerapkan digitalisasi secara bertahap.
Tahapan paling awal untuk solusi hibrida ini sebenarnya mulai bisa terlihat. Misalnya pada PILKADA DKI sekarang sudah ada perusahaan lokal membuat aplikasi bernama Mata Rakyat yang dipergunakan untuk mendorong transparansi saat pemilihan umum. Aplikasi berbasiskan komputasi awan ini dipergunakan untuk memantau proses penghitungan cepat pemilihan umum.
Lewat aplikasi ini, masyarakat diharapkan lebih mudah terlibat di dalam pesta demokrasi, dan perlahan-lahan kepercayaan masyarakat terhadap teknologi akan meningkat. Seiring dengan peningkatan kepercayaan ini, kepercayaan terhadap sistem e-Voting juga makin meningkat. Dengan begitu, secara berangsur-angsur penerapan e-Voting pada setiap pemilihan umum akan makin menyeluruh dan dapat merealisasikan pemilihan umum yang transparan, cepat, efektif, dan murah biayanya.
(Cas/Why)