Liputan6.com, Surabaya - Sejak beberapa tahun belakang, perayaan Valentine di Indonesia selalu disambut dengan pro kontra. Ada yang menganggap perayaan Hari Kasih Sayang itu sebagai tradisi yang patut didukung karena menyebarkan cinta kasih.
Di sisi lain, ada pihak yang menganggap perayaan Valentine tidak lebih dari kegiatan mubazir dan seringkali memicu seks bebas. Hal itu memancing sejumlah pemerintah daerah dan warga menyuarakan anti-Valentine's Day.
Salah satunya ditunjukkan oleh 25 siswa siswi SMP Muhamadiyah 2 Genteng Surabaya, Jawa Timur yang menggelar protes menolak perayaan hari Valentine di Taman Apsari, Surabaya. Aksi itu dilakukan karena mereka resah dengan berbagai suasana khas Valentine di Surabaya.
Di setiap sudut di Surabaya, bahkan hingga di sejumlah mal berhias bunga mawar dengan warna merah muda. Warna merah muda memang sering diidentikan dengan hal-hal terkait yang kasih sayang dan cinta di hari valentine.
Baca Juga
Advertisement
Menurut Pandu Satria, salah satu siswa SMP 2 Muhamadiyah Surabaya, di lingkungan sekolahnya tidak ada perayaan hari Valentine sama sekali. Bahkan, tak ada siswa maupun siswi yang tertarik merayakan Valentine.
"Di sekolah kami sama sekali tidak pernah ada perayaan-perayaan hari kasih sayang, bahkan cenderung tidak familiar," kata Pandu, Senin, 13 Februari 2017.
Aksi tolak Valentine dilakukan para siswa SMP Muhammadiyah 2 Genteng ini dilandasi sejumlah hal. Salah satunya perayaan Valentine cenderung dilakukan dengan seks bebas.
"Kami menggelar aksi ini sebelumnya juga merundingkan dengan guru. Karena ketakutan itu muncul dan akan berdampak pada masa depan, ya generasi kita, kita berusaha menyelamatkan," tutur Pandu.
Aksi yang dilakukan para siswa itu tak hanya sekadar dengan orasi, tetapi juga dengan membagikan 100 syal dengan warna dominan merah muda bertuliskan 'Stop Valentine day because i love you everyday'. Syal itu dibagi-bagikan ke para pengguna jalan.
Sementara itu, Ida Indahwati Waliulu selaku Kepala SMP Muhammadiyah 2 Genteng mendukung aksi para muridnya itu. Ia mengaku bangga dengan kegiatan para siswanya itu.
"Kami memiliki kebanggan tersendiri akan aksi positif siswa Spemda (SMP Muhammadiyah 2) Genteng, karena mereka berpikir akan problematik generasi mereka," ucap Ida.
Dia berharap kegiatan ini juga menjadikan siswa SMP Muhammadiyah 2 Genteng lebih kritis membaca gejala kondisi di masyarakat. Termasuk soal hari Valentine ini.
Valentine Dinilai Tak Berbudaya Sunda
Dinas Pendidikan Kota Bandung melarang para pelajar untuk merayakan hari kasih sayang atau yang biasa dikenal Valentine's Day yang jatuh setiap 14 Februari, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
"Kami pun mengimbau orangtua agar mengawasi putra-putrinya agar tidak terlibat dalam kegiatan Valentine's Day," kata Kepala Disdik Kota Bandung Elih Sudiapermana di Bandung, dilansir Antara, Senin, 13 Februari 2017.
Elih menuturkan larangan ini bertujuan untuk menjaga norma-norma yang berlaku di masyarakat serta meningkatkan pendidikan karakter bagi para pelajar. "Menjaga kekhasan siswa di Kota Bandung yang berbudaya Sunda," kata dia.
Sebelumnya, Kadisdik Provinsi Jawa Barat Ahmad Hadadi secara tegas melarang pelajar untuk merayakan Hari Valentine. Pelarangan itu tercantum dalam surat larangan nomor 430/7618-Set.Disdik.
"Ini ditujukan kepada seluruh kepala dinas pendidikan di kabupaten/kota, Kepala BP3 Wilayah Jawa Barat, serta kepala sekolah SMA/SMK se-Jawa Barat," kata dia.
Menurut Elih, larangan itu sesuai instruksi Presiden Republik Indonesia Joko Widodo saat rembuk Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. "Presiden ingin anak didik ini dibangun integritasnya, karakter, dan budaya bangsa. Jangan hanya maju di bidang iptek saja," kata Elih.
Advertisement
Budayawan Sindir Larangan Valentine Semarang
Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang, Bunyamin, menegaskan larangan perayaan Hari Valentine oleh pelajar tidak bersifat kaku. Larangan itu hanya berlaku untuk kegiatan negatif. Dinas Pendidikan mengijinkan perayaan Valentine's Day dengan kegiatan yang positif.
"Jika kegiatan dalam rangka Valentine Day sifatnya positif, misalnya bakti sosial ya, tentu tidak ada larangan. Sekali pun itu diselenggarakan di lingkungan sekolah," kata Bunyamin di Semarang, Senin (13/2/2017).
Sebelumnya dinas mengeluarkan Surat Edaran (SE) tertanggal 10 Februari dengan nomor 003/816 tentang larangan perayaan Hari Valentine. Namun edaran itu justru mengejutkan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi karena belum ada koordinasi.
Bunyamin menyebutkan penerbitan Surat Edaran (SE) tertanggal 10 Februari 2017 dengan nomor 003/816 itu, dimaksudkan untuk menghindari keterlibatan siswa didik baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah pada hal-hal yang bertentangan dengan agama dan budaya.
"Kalau perayaannya diadakan dengan melanggar norma budaya dan agama ya jelas kami larang," katanya.
Menurutnya, pelarangan itu untuk membangun karakter peserta didik yang berakhlak mulia dan terhindar dari kegiatan yang bertentangan dengan norma agama, sosial, dan budaya Indonesia. Edaran yang ditujukan kepada semua Kepala Sekolah SMP ini agar meneruskan ke orang tua dan meminta mengawasi putra-putrinya.
Menanggapi hal ini, Witono, salah seorang wali murid menyebutkan bahwa itu adalah kebijakan aneh. Untuk hal negatif, tanpa dilarang sekalipun, tentu penyelenggaranya akan sembunyi-sembunyi.
Budayawan Semarang Tubagus Svarajati menilai adanya surat edaran itu menyiratkan dua hal. Pertama, dalam sudut pandang ini, Valentine dianggap sebagai hantu yang bisa melumat karakter pelajar Indonesia.
"Tindakan yang mendidik bukanlah bentuk pelarangan. Seyogyanya tindakan yang dilakukan adalah dengan mendiskusikan sebagai bentuk meninggikan rasionalitas," kata Tubagus kepada Liputan6.com, Senin (13/2/2017).
Hal kedua, menurut Tubagus, larang-melarang dalam dunia pendidikan semakin membunuh daya kritis siswa. Sesungguhnya sikap kritis dan skeptis harus dibangun agar daya nalar pelajar Indonesia bisa lebih mumpuni.
"Pembelajaran yang benar tentang suatu fenomena bukan dengan cara otoriter, tapi membuka ruang kebebasan berdialog," kata Tubagus.
Sebutan Liberal atas Valentine
Puluhan pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam sebuah lembaga dakwah di Purwakarta menggelar aksi di jalan dengan membawa spanduk dan flyer untuk menyuarakan anti-Valentine's Day.
Penyampaian aspirasi itu dilakukan pada Minggu, 12 Februari 2017. Di tengah guyuran hujan, mereka bersemangat mengajak kaum remaja untuk tidak terjerumus pada budaya liberalisme.
Dalam orasinya, massa aksi menyampaikan kalau saat ini remaja di Indonesia sudah kehilangan identitas diri. Menurut mereka, hal itu karena gencarnya liberalisme dalam menyebarkan paham. Salah satunya termasuk merayakan hari Valentine.
Mereka berpendapat Hari Valentine yang berasal dari luar menjadi rusak dan berbahaya bagi remaja. Perayaan Valentine bukan dimaknai kasih sayang dalam arti luas, tetapi kerap kali malah membuat remaja kehilangan batas dalam merayakannya.
"Di sini, kita mengadakan kampanye edukasi selamatkan generasi dari budaya liberal, karena memang hari ini kondisi sedang dalam dirusak oleh budaya tersebut budaya liberal, terutama remaja Islam yang memang di Indonesia mayoritas Muslim," kata koordinator aksi Iskandar Saiful Badran.
Sementara terkait Valentine Day, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat
sebelumnya telah mengeluarkan larangan merayakan Hari Kasih Sayang (Valentine's Day) tersebut melalui surat bernomor 430/7618-SET.DISDIK.
Di dalam surat tersebut terdapat tiga bunyi imbauan. Selain generasi muda atau pelajar dilarang merayakan Valentine Day, juga mengarah pada kepala sekolah dan guru untuk ikut mengawasi para pelajar agar tidak merayakannya.
Advertisement
Kritikan Cokelat Valentine
Puluhan mahasiswa di Bogor menggelar aksi simpatik menolak perayaan valentine di kawasan Tugu Kujang. Mereka membawa poster tertulis "Wanita Solehah itu Dicintai dengan Akad, Bukan Cokelat" dan "Valentine adalah maksiat berkedok kasih sayang"
Menurut Kordinator aksi, Wendi, pengertian kasih sayang tidak harus selalu diperingati pada setiap 14 Februari. Namun, bisa setiap hari kepada siapa pun yang dicintai, seperti saudara, orangtua, atau siapa saja yang berhak dikasihi.
"Cokelat dianggap sebagai simbol kasih sayang, padahal identik dengan kemaksiatan," kata Wendi, Senin, 13 Februari 2017.
Oleh sebab itu, ia mengajak para remaja di Bogor, khususnya kaum Muslim, untuk tidak merayakan Hari Valentine karena bertentangan dengan ajaran Islam.
"Kebanyakan generasi muda saat ini hanya ikut-ikutan merayakan valentine day. Padahal, mereka tidak tahu apa maksudnya," kata dia.
Dia juga meminta kepada instansi terkait untuk lebih meningkatkan pembinaan dan pemahaman kepada anak-anak sekolah bahwa Valentine day budaya yang tidak baik untuk ditiru.
"Jangan hanya karena ikut-ikutan generasi muda terancam akidahnya,"tutup Wendi.