Liputan6.com, Jakarta - Sosok perempuan makin memiliki peran besar di sebuah perusahaan. Bila Mattel, Hershey, Staples menjadi contoh, begitu kuatnya sosok perempuan di sebuah perusahaan, maka kita akan melihat lebih banyak perempuan dalam posisi eksekutif di perusahaan.
Berdasarkan penelitian dari perusahaan konsultan Challenger, Gray dan Christman pada 2016 menunjukkan kalau sosok perempuan mengambil alih posisi CEO meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Dari pergantian CEO sebanyak 1.043 pada 2016, sekitar 193 CEO digantikan oleh perempuan. Sedangkan pada 2010, 116 CEO digantikan oleh perempuan dari 942 CEO, jadi hanya 12,3 persen.
Ada pun dalam penelitian untuk ukuran sampel meliputi perusahaan-perusahaan besar dan kecil. Meski demikian, sejumlah ahli menyebutkan kalau meski ada peningkatan peran perempuan untuk menjadi CEO, tapi masih jauh untuk mewakiliki dunia usaha.
Baca Juga
Advertisement
Dari sejumlah perusahaan masuk indeks S&P500, berdasarkan analisa grup Catalyst, hanya sekitar 22 perusahaan yang pegawai perempuan menduduki posisi CEO. "Jika ingin meningkatkan peran perempuan secara keseluruhan maka perlu peningkatan penunjukan CEO (untuk perempuan)," ujar Brande Stellings, Vice President Catalyst, seperti dikutip dari laman Marketwatch, seperti ditulis Selasa (14/2/2017).
Tak hanya masalah gender, Catalyst juga menemukan kalau warna kulit juga menjadi tantangan bagi perempuan untuk menduduki posisi penting di sebuah perusahaan. Selain itu, kadang perempuan juga masih diragukan untuk memimpin.
"Orang-orang merasa nyaman dengan perempuan sukses dan berprestasi di bidang apapun. Namun masih ada keraguan untuk melihat perempuan sebagai pemimpin," ujar Catherine Hill, Wakil Presiden American Association of University Women di Washington DC.
Dalam survei yang dibuat bersama peneliti dari Universitas Harvard soal kepemimpinan antara pria dan wanita, orang cenderung menilai kalau perempuan sedikit kurang kompeten dibandingkan laki-laki dalam posisi kepemimpinan.
"Perempuan yang dipandang sebagai "terlalu feminin" kadang-kadang dipandang kurang kompeten, sedangkan "terlalu maskulin" dikritik karena tidak pas untuk menempatkan perannya," ujar Hill.
Dalam penelitian juga menunjukkan peran perempuan saat menghadapi krisis pun cenderung abaikan fakta. Namun, perempuan juga memiliki strategi untuk tetap berkarya lebih baik. Ketika dilihat kurang kompeten, perempuan dapat lebih cepat untuk segera sadar sehingga cepat menggunakan keterampian dan kompetensinya untuk menduduki jabatan penting.
Perempuan juga mendapatkan keuntungan dengan menggunakan jaringan mereka sendiri. Ini untuk mendapatkan dukungan di tempat mereka bekerja.
Selain itu, perempuan harus aktif untuk mencari posisi strategis. Hal ini bukan hanya untuk mendapatkan pengalaman bagaimana berpikir strategis tetapi juga agar dapat mendorong posisi perempuan lebih banyak menduduki posisi CEO.
Seorang konsultan perempuan asal India di Deloitte, Purushothaman menuturkan, kalau perempuan untuk menjadi pemimpin juga perlu membuktikan kemampuan dan kompetensi di bidang atau posisi yang digelutinya. Misalkan mampu menghasilkan pendapatan baik dan mendapatkan dukungan dari klien.