Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia mencatatkan total outstanding utang sebesar Rp 3.466,96 triliun pada 2016. Dengan nilai tersebut, rasio utang ini sebesar 27,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau masih jauh di bawah ambang batas 60 persen dari PDB.
Direktur Strategi dan Portofolio Utang DJPPR Kemenkeu, Schneider Siahaan meminta kepada masyarakat untuk melihat posisi utang pemerintah secara proporsional. Posisi utang Indonesia sebesar Rp 3.466,96 triliun masih kecil dibanding nilai PDB yang mencapai Rp 12.627 triliun atau 27,5 persen.
Advertisement
"Segala sesuatu diukur secara relatif supaya bisa proporsional melihatnya," tegas dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu (15/2/2017).
Schneider mencontohkan, utang senilai Rp 100 juta dianggap sangat besar bagi orang yang berpenghasilan Rp 1 juta per bulan karena perlu waktu lebih dari 8 tahun untuk melunasinya. Namun bagi orang yang mengantongi pendapatan Rp 50 juta per bulan, nilai utang tersebut tidak dianggap besar.
"Jadi ukuran omzet suatu negara itu ada di PDB. Semakin besar PDB, bisa diartikan kemampuan bayar utang makin baik. Makanya rasio utang terhadap PDB penting," jelas Schneider.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengalokasikan anggaran pembayaran bunga utang sebesar Rp 221,4 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017. Jumlah ini naik Rp 30,4 triliun dari pagu anggaran di APBN Perubahan 2016.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Askolani menyatakan, khusus untuk pembayaran bunga utang, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 221,4 triliun untuk melunasi bunga utang di 2017. Anggaran ini meningkat setiap tahunnya.
"Bunga utang yang harus dilunasi setiap tahun meningkat. Di APBN-P 2015 sebesar Rp 156 triliun, kemudian naik menjadi Rp 191 triliun di APBN-P 2016, dan 2017 meningkat Rp 221,4 triliun," tuturnya.
Menurutnya, pembayaran bunga utang merupakan kewajiban pemerintah untuk dipenuhi guna menjaga kredibilitas daripada pengelolaan utang di Indonesia. "Pemerintah akan mengupayakan beban utang paling minimal dan menjaga risiko pengelolaan utang ke depan," pungkas Askolani.