Liputan6.com, Naples - Tiziana Cantone memutuskan bunuh diri. Ia tak sanggup lagi menanggung malu.
Pada April 2015, wanita yang itu mengirim serangkaian video seks kepada 5 orang melalui aplikasi WhatsApp.
Salah satu penerima video kiriman wanita dari Mugnano di pinggiran Naples, Italia, itu adalah Serdio di Palo, kekasih yang hubungannya putus-sambung dengan dirinya.
Dalam video-video itu, tampak ia sedang melakukan kegiatan-kegiatan seks bersama dengan beberapa pria yang tidak dikenal.
Tak lama kemudian, rekaman tersebut menyebar liar di beberapa situs video dewasa.
Baca Juga
Advertisement
Kegiatan fisik dalam tayangan memang dianggap biasa saja, tapi ucapannya kepada seseorang yang memegang kamera itulah yang dirasa menyesak. "Kamu bikin video? Bravo!"
Kalimat itu mengundang dugaan bahwa wanita muda itu menikmati direkam sedang melakukan hubungan seks. Secara tidak sengaja, kalimat itu seakan mendorong para pemirsa untuk menonton tanpa sungkan.
Tapi, seperti dikutip pada Rabu (15/2/2017) dari BBC, warga Italia bukan sekedar menonton.
Para pemirsa mengubah kalimat pendek itu menjadi kata-kata sentilan dalam berbagai meme. Wajah Tiziana Cantone pun terpasang pada kaos dan situs-situs web parodi.
Orang mungkin mengira perempuan itu akan bersikap biasa, bahkan senang. Tapi ternyata tidak demikian. Ia memutuskan bunuh diri.
Kata komentator sosial Selvaggia Lucarelli, "Orang campur aduk dalam menilai orang yang gelisah dengan orang yang ingin menjadi viral. Bisa saja orang membuat video dan berbagi dengan beberapa orang, tapi ada perjanjian tak tertulis untuk tidak meneruskannya."
Menghancurkan Hidup
Tiziana Cantone, seorang wanita yang rentan, kemudian ketakutan. Kata Teresa, temannya, "Dia dan saya sebenarnya tidak pernah mengobrolkan perincian video itu. Saya tidak pernah menontonnya dan tidak pernah mau melihatnya. Kelihatan sekali bahwa dia sangat menderita, namun tabah."
Cantone memutuskan untuk melawan, tapi tidak ada caranya menarik video-video itu dari peredaran. Ia membawa kasusnya ke pengadilan dan mengaku bahwa rekaman itu diunggah ke situs publik tanpa sekehendaknya.
Sejak saat itu, hidupnya tidak bisa biasa-biasa lagi. Teresa menjelaskan, "Dia tidak mau keluar karena orang-orang mengenalinya. Ia menyadari bahwa dunia virtual telah menjadi sama dengan dunia nyata."
"Ia paham bahwa suatu saat nanti situasinya tidak akan pernah selesai, misalnya ada suami di masa depan, anak-anak di masa depan yang mungkin menemukan video itu dan tidak akan pernah menghilang."
Tiziana Cantone menarik diri ke rumah keluarga di jalan sepi Mugnaon, kawasan pekerja di pinggiran Naples, Italia. Ibunya, Maria Teresa Giglio, perlu bermingu-minggu untuk kemudian berbicara dengan wartawan tentang kehidupan putrinya.
Kata ibunya kepada BBC, "Putri saya adalah anak yang baik, tapi sangat rentan. Ia tidak memiliki sosok ayah sejak lahirnya. Ia tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Hal itu berdampak kepada seluruh hidupnya."
Ibu dan putrinya tinggal bersama. Di masa-masa suka, Tiziana menyukai para penyanyi Italia, membaca novel, dan memainkan piano. Tapi, sejak videonya beredar, ia menarik diri.
Kata ibunya, "Hidupnya hancur di depan semua orang. Orang mengolok-oloknya, berbagai parodi menghiasi situs-situs web porno. Ia dicerca dengan berbagai julukan."
Pada September, suatu pengadilan di Naples memerintahkan video-video adegan intim itu ditarik dari beberapa situs web dan mesin pencari. Tapi pengadilan juga memerintahkannya membayar 20 ribu euro untuk biaya perkara.
Semua itu terlalu berat baginya. Pada 13 September 2016, Maria Teresa Giglio pergi bekerja di balai kota dan putrinya tetap di rumah. Ibu itu lalu menerima panggilan telepon.
Katanya terbata-bata, "Ipar perempuan saya menelepon dan dalam suara tenang meminta saya pulang. Setelah sampai, saya melihat ada polisi, ambulans, dan saya langsung mengerti."
"Ipar saya berusaha mencoba menarik untuk menyelamatkannya. Para tetangga tidak mengijinkan saya keluar mobil. Saya hampir pingsan. Mereka tidak membiarkan saya masuk. Saya bahkan tidak bisa melihatnya untuk terakhir kali."
"Ketika ia meninggal, hidup saya berakhir."
Keesokan harinya, Maria Teresa Giglio memakamkan putrinya yang ditempatkan dalam peti mati berwarna putih dengan tulisan di luarnya yang menyebut wanita itu sebagai "malaikat yang manis, cantik, dan rentan."
Advertisement
Siapa Pengunggah Video?
Ada paradoks yang menyedihkan terkait kematian Tiziana Cantone. Karena bunuh diri, ia malah semakin menarik perhatian kepada video-video yang ia diharapkannya dilupakan orang.
Ibunya memaksa diri untuk menonton tayangan-tayangan itu. Katanya, "Coba bayangkanlah. Saya ingin melihat perinciannya agar memungkinkan saya mengerti kebenaran. Itu bukan Tiziana saya." Ibunya yakin bahwa putrinya berada di bawah pengaruh narkoba.
Menurut sang ibu, distribusi video itu bukan kebetulan, "Seakan-akan semua ini adalah rencana pidana yang dipikir matang-matang. Mereka hanya ingin menayangkan wanita malang ini dengan maksud membeberkannya melalui internet."
Secara khusus, Giglio ingin agar mantan kekasih putrinya, Di Palo, untuk menjelaskan peran sebenarnya dalam peredaran video-video, katanya, "Dia tidak membantu saya menyelamatkan hidupnya (Tiziana). Mungkin dia bisa membantu saya menguak kebenaran. Saya penasaran."
Pada November 2016, jaksa penuntut mempertanyakan di Palo selama 10 jam. Mereka ingin mengetahui apakah ada yang bersalah telah memicu Tiziana untuk bunuh diri. Di Palo menolak memberikan wawancara.
"Kami menolak mengeluarkan komentar demi menghormati Tiziana yang menderita cukup banyak karena ramainya publisitas terkait kasusnya," kata Bruno Larosa, pengacara Di Palo. "Kami percaya kepada pengadilan dan mohon dicatat bahwa klien saya tidak disangkakan apapun."
Setelah Kematian Tragis Tiziana
Setelah kematian Tiziana, suasana debat tentang pornografi dan privasi di Italia terasa berbeda. Menurut komentator sosial Selvaggia Lucarelli, "Menurut saya, kasus ini membuat perbedaan secara cukup drastis, sedemikian rupa sehingga para jurnalis Italia membicarakan kasus in sebagai pornografi berlatar dendam."
"Mereka biasanya melakukan pendekatan serampangan dan kematiannya (Tirziana) mengubah itu. Dalam kasus-kasus berikutnya, misalnya yang menyangkut selebriti, mereka menjadi lebih berhati-hati."
Tapi ada juga pelajaran bagi siapapun yang memilih untuk mengunggah video-video intim secara daring. Kata wanita pengamat itu, "Orang mengira kehidupan virtual dan kehidupan nyata mereka sebagai kenyataan yang sejajar. Ternyata tidak begitu."
"Dua kehidupan itu beririsan. Web juga adalah hidup kita. Jadi, apapun yang kamu tidak inginkan dalam dunia nyata, jangan juga dilakukan secara daring."
Video-video Tiziana memang tidak bisa lagi dicari dengan mesin-mesin pencari utama, tapi masih ada di luar sana. Ibunya ingin agar Italia dan seluruh Uni Eripa menyepakati cara yang jauh lebih cepat untuk menarik bahan-bahan pribadi dari internet dan mewajibkan perusahaan-perusahaan internet untuk bertindak secara bertanggungjawab.
Katanya, "Saya bicara atas nama ibu-ibu lain yang mungkin juga menderita seperti saya."
Antonello Soro, wewenang privasi di Italia, sepakat akan perlunya perubahan, tapi ia tidak menjelaskan apa yang akan dilakukan pemerintah.
Menurut pernyataannya, "Kita memerlukan cara tanggap yang lebih cepat dari beberapa platform daring yang berbeda, tapi perlu juga meningkatkan rasa hormat dalam dunia maya."
"Kita memerlukan investasi yang kuat dalam pendidikan digital untuk mempromosikan budaya dan kepekaan yang layak bagi dunia daring yang baru."
Bagi ibunda Tiziana, hidupnya sekarang adalah perjuangan membela nama putrinya dan mencegah pihak-pihak lain mengalami hal yang sama.
Katanya, "Saya berharap bahwa nama Tiziana Cantone bukan sekedar menjadi celaan tapi menjadi nama yang dapat menyelamatkan nyawa wanita-wanita lain. Saya ingin hal itu terjadi untuk menyelamatkan orang lain."
Advertisement