Liputan6.com, Swiss - Indeks harga pangan global terbaru dapat menjadi sebuah pertanda buruk bagi pecinta makanan manis. Alasannya, karena harga gula yang cenderung naik.
Bahkan kabar terkini menyebutkan terjadi krisis produksi gula dunia yang mengakibatkan kenaikan harga lagi pada tahun ini. Meskipun harga gula di bulan Desember 2016 sempat mengalami penurunan.
Advertisement
Dari pemaparan Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) atau Organisasi Pangan dan Pertanian PBB terkait nilai suatu biaya dari sekeranjang komoditas secara bulanan yang dilansir dari situs weforum.org, Kamis (16/2/2017), disebutkan ada lima komoditas yang terjual paling banyak.
Kelima komoditas tersebut yakni sereal, minyak sayur, susu, daging dan gula.
Pada Januari 2017, penjualan komoditas tersebut di kasir tercatat 12% lebih tinggi dari pada bulan Januari tahun 2016 lalu. Hasil tersebut menjadi yang tertinggi sejak awal tahun 2015.
Secara rinci, jika dibandingan dengan Januari 2016 lalu, biaya gula dalam teh mencapai angka 45% lebih tinggi, biaya susu mencapai angka 33% lebih tinggi, dan biaya minyak sayur pada salad mencapai angka 34% lebih tinggi. Sementara biaya daging cenderung lebih stabil karena peningkatan hanya 8% saja.
Tempat Belanja Termahal di Eropa?
Dilansir dari situs yang sama, Swiss disebutkan sebagai negara termahal untuk berbelanja menurut Eurostat.
Di negara ini harga untuk makanan, minuman dan tembakau adalah 72% di atas harga rata-rata di Eropa. Di urutan selanjutnya ditempati oleh Norwegia (60% di atas rata-rata), Denmark (45%) dan Islandia (30%).
Meskipun kenaikan harga terjadi akhir-akhir ini, gambaran ini masih jauh lebih rendah daripada kenaikan yang pernah terjadi sepanjang sejarah karena indeks FAO bulan Februari 2011, yakni 240 poin, masih lebih tinggi daripada indeks FAO bulan Januari 2017, yakni 174 poin. Bahkan kedua angka ini masih jauh lebih rendah daripada apa yang terlacak pada tahun 1990, yakni 420 poin karena harga gula.
Kerusuhan Akibat Kenaikan harga
Di bulan yang sama dengan tingginya indeks FAO, jutaan orang di seluruh dunia tiba-tiba mendapati dirinya tak mampu lagi membeli sejumlah barang yang dibutuhkan sehari-hari. Krisis ini mengakibatkan maraknya kerusuhan, seperti saat terjadi lonjakan harga bawang di India.
Lalu, kondisi tersebut memaksa pemerintah untuk campur tangan menyelesaikannya dengan melarang ekspor dan memotong bea masuk.
Selaras dengan hal tersebut, Program Pangan Dunia (World Food Progamme/WFP) memperkirakan bahwa masyarakat di negara berkembang menghabiskan 60-80% dari pendapatan rumah tangga mereka untuk membeli makanan.
Ketika harga naik terlalu tinggi, terlalu cepat, WFP mengatakan dampaknya pada keluarga miskin bisa parah. Bahkan kondisi tersebut memaksa mereka untuk memotong anggaran yang dianggap tidak penting, seperti buku sekolah, obat-obatan, tempat tinggal dan pakaian.