Liputan6.com, Bandung - Puluhan pelajar Sekolah Dasar (SD) Astana Anyar Kota Bandung menulis surat cinta yang ditujukan kepada istri kedua Sukarno, Inggit Garnasih. Surat cinta yang ditulis mereka bertujuan agar para pelajar mengenal lebih jauh sosok Inggit Garnasih sebagai seorang pejuang kemerdekaan.
Menurut juru bicara kelompok pemuda Newcastle, Kecamatan Astana Anyar, Kota Bandung, Sandi Syarif, perjuangan Inggit Garnasih kurang diketahui oleh sebagian pelajar saat ini. Padahal, perannya tak sekadar menjadi pendamping Bung Karno semata.
"Ini momennya pas Hari Valentine (kasih sayang), sedangkan kemarin ada surat dari Dinas Pendidikan tidak boleh merayakan hari Valentine. Soalnya anak SD sekarang sudah mengenal cinta. Daripada mereka menulis surat cinta buat pacarnya, mendingan mereka nulis buat ibu bangsa," kata Sandi Syarif di Bandung, Selasa, 14 Februari 2017.
Sandi mengaku pengalaman pribadinya yang kesulitan mencari referensi terkait sosok mantan ibu kos Bung Karno itu memicu kelompoknya mengedukasi pelajar. Dengan surat cinta, ia berharap para pelajar mengetahui sejarah dan perjalanan Inggit dalam membela dan memerdekakan negara ini.
Di tempat yang sama, cucu Inggit, Tito Zeni, menjelaskan bahwa neneknya adalah sosok perempuan pejuang yang romantis dan memegang teguh prinsip dalam mendukung kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
"Bu Inggit dan Bung Karno mengatakan bahwa cinta yang tertinggi setelah kepada Tuhan adalah kepada rakyat, bangsa, negara dan umat manusia," kata Tito.
Tito menyatakan seluruh hidup mendiang Inggit Ganarsih, secara total diberikan kepada Presiden Sukarno dalam menyokong seluruh perjuangannya.
Kelompok pemuda Newcastle, Kecamatan Astana Anyar, Kota Bandung, mengklaim bahwa program surat cinta kepada mendiang Inggit Garnasih baru dilakukan perdana di sekolah. Selama tiga tahun terakhir, mereka biasanya menggelar kegiatan di tempat keramaian bersama dengan Kelompok Anak Rakyat (Lokra).
Pemilihan Februari sebagai waktu perayaan karena Inggit Garnasih lahir pada 17 Februari 1888. Pada tahun ini, ia merayakan hari lahirnya ke-129. Namun, Bulan Cinta Inggit Garnasih itu tertutup oleh perayaan Hari Valentine.
Padahal, Inggit berperan besar menyokong kehidupan Soekarno saat dipenjara di Lapas Banceuy. Ia pula yang membantu memberikan materi untuk referensi Sukarno ketika menyusun pembelaan yang berjudul "Indonesia Menggugat" di depan Pengadilan Landraad Bandung pada 18 Agustus 1930.
Perjalanan Hidup Inggit Garnasih
Inggit Garnasih lahir di Desa Kamasan Banjaran, Kabupaten Bandung, dari pasangan Ardipan dan Amsi. Dikutip dari laman www.museumindonesia.com, nama asli Inggit hanyalah Garnasih. Nama itu merupakan doa agar anak mereka menjadi pribadi tegas, segar, menghidupkan, dan penuh kasih sayang.
Harapan itu menjadi kenyataan. Menginjak dewasa, Garnasih menjadi seorang remaja putri yang cantik dan menarik hingga ke mana pun pergi selalu menjadi perhatian warga, terutama para pemuda.
Di antara mereka sering melontarkan kata-kata "mendapat senyuman dari Garnasih sama dengan mendapat uang seringgit" (pada saat itu satu ringgit sama dengan 2,5 gulden Belanda dan nilainya masih sangat tinggi). Julukan itu kemudian benar-benar merangkai namanya menjadi Inggit Garnasih.
Saat usianya kurang lebih 12 tahun, Inggit Garnasih menikah dengan Nata Atmadja yang menjabat sebagai patih pada Kantor Residen Belanda. Namun, perkawinan itu berakhir dengan perpisahan.
Setelah berpisah dengan Nata Atmadja, Inggit dilamar oleh H. Sanoesi seorang pedagang kaya dan sukses. Suami kedua Inggit merupakan seorang tokoh organisasi perjuangan Sarekat Islam Jawa Barat dan merupakan salah satu kepercayaan HOS Tjokroaminoto.
Bagi Inggit, perkawinan keduanya ini merupakan awal kehidupan memasuki dunia politik dan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pada waktu dilaksanakannya Kongres Sarekat Islam (1916). Kala itu Inggit dipercaya untuk memimpin dapur umum, mengatur, dan menerima undangan bagi seluruh peserta kongres yang datang dari seluruh Tanah Air.
Kehidupan rumah tangga Inggit dengan H. Sanoesi berjalan dengan mulus dan penuh kasih sayang sampai Soekarno datang berbekal surat dari HOS Tjokroaminoto untuk meminta keluarga H. Sanoesi dapat menerimanya tinggal di rumah sebagai anak kos. Sukarno pindah ke Bandung dalam rangka belajar di HTS (sekarang ITB).
Pada saat itu, Sukarno sudah berstatus suami dari Oetari, putri dari HOS Tjokroaminoto. Seiring kebersamaan mereka, Sukarno jatuh cinta pada Inggit Garnasih, begitu pula sebaliknya. Perkawinan kedua Inggit dengan Sanoesi akhirnya kandas secara baik-baik, begitu pula dengan pernikahan Sukarno dan Oetari.
Advertisement
Pernikahan dan Perceraian Inggit Garnasih - Sukarno
Pada 24 Maret 1923, Inggit dan Sukarno menikah. Dalam surat nikah dicantumkan usia Sukarno yang baru 22 tahun menjadi 24 tahun, sedangkan usia Inggit diturunkan satu tahun menjadi 35 tahun.
Ngkus, itulah panggilan sayang Inggit pada Soekarno. Baginya, Sukarno adalah suami, guru, mitra perjuangan, sekaligus kekasih. Begitu pun sebaliknya bagi Sukarno, Inggit adalah istri, mitra dalam berjuang, kekasih dan sekaligus merupakan sosok "ibu" yang memberikan air kehidupan penyejuk jiwa.
Meski Sukarno keluar masuk penjara saat itu, Inggit selalu sabar, setia, dan siap membantu Sukarno. Pada 1 Agustus 1933, tepat dua tahun setelah Sukarno dibebaskan dari penjara Sukamiskin (1929-1931), dia kembali ditangkap polisi Belanda dengan tuduhan melakukan tindakan subversif karena menulis risalah yang berjudul "Mentjapai Indonesia Merdeka".
Kali ini pemerintah mengambil tindakan dengan menginternirnya ke Ende, Flores. Pada pertengahan Februari 1934, Soekarno dan keluarga (Inggit, Ibu Amsi, Omi, Mahasan, dan Karmini) tiba di Ende.
Waktu di Ende, Inggit dan Sukarno dapat musibah yang mengakibatkan duka yang panjang. Ibu tercintanya meninggal dunia bulan Oktober 1935. Ketika Sukarno menderita sakit malaria dan atas desakan Husni Thamrin, pemerintah Belanda memindahkan Sukarno dan keluarganya ke Bengkulu pada 1938.
Kepindahan keluarga kecil Sukarno dan Inggit membawa prahara rumah tangga. Sukarno yang tertarik pada Fatmawati kemudian melontarkan keinginannya untuk menikahi orang yang sudah dianggap anak oleh Inggit.
Sukarno beralasan menginginkan keturunan. Pada waktu itu sebenarnya tidak terbersit dalam pikiran Sukarno untuk menceraikan Inggit yang setia mendampinginya dalam perjuangan selama 20 tahun baik suka maupun duka. Akan tetapi, Inggit tidak mau dimadu.
Inggit kemudian kembali ke Bandung. Pada 29 Februari 1942, Inggit resmi bercerai dari Sukarno, yang disaksikan oleh Kyai Haji Mas Mansoer. Surat cerai diserahkan oleh Sukarno pada Inggit yang diwakili oleh H. Sanoesi.
Sejak itu, selesailah tugas Inggit menghantar Sukarno sebagai pemimpin dan bapak bangsa menuju gerbang kemerdekaan Indonesia. Perjalanan hidup Inggit selanjutnya berlangsung dalam kesendirian. Ia pun berusaha menghidupkan dirinya dengan membuat bedak dan jamu.