Liputan6.com, Jakarta Isu perubahan iklim sudah berkali-kali diangkat dalam forum berskala internasional. Dampaknya bagi kesehatan tentunya dijadikan pembahasan utama. Akan tetapi, hampir semua diskusi terkait perubahan iklim dan dampaknya pada kesehatan terpusat pada fisik saja.
Tidak bisa dimungkiri, polusi udara sebagai salah satu bentuk dari perubahan iklim membuat banyak orang menjadi sesak napas. Lambat laun kesehatan kardiovaskularnya pun terancam.
Lalu polusi air juga menjadi alasan utama banyak orang mengalami masalah pencernaan dan penyakit di perut lainnya. Cuaca terlalu panas kerap membuat orang dehidrasi. Cuaca terlalu dingin membuat orang rentan sakit flu dan demam.
Semua dampak negatif terhadap kesehatan fisik sudah pernah dipaparkan. Lalu, bagaimana dengan dampaknya pada kesehatan mental?
Mungkin beberapa orang akan mengira bahwa dampaknya pada kesehatan mental hanya dirasakan oleh mereka yang menjadi korban bencana alam akibat perubahan iklim. Namun efek buruk terhadap kesehatan mental sebetulnya tidak hanya sebatas pada korban bencana alam saja, tetapi bisa ke semua orang yang ada di muka Bumi ini.
Kita tidak harus terekspose dengan bencana alam atau menjadi korbannya. Sebab, kondisi kita sudah cukup rentan dari bahaya penyakit mental.
Melahirkan sifat pemarah
Seorang psikiater sekaligus dewan penasehat di pusat kesehatan di Harvard T.H Chan School of Public Health bernama Lise Van Susteren menjelaskan di laman Live Science, Selasa (21/2/2017) bahwa, “perubahan iklim merupakan akar dari krisis kesehatan mental di era modern ini.”
Ia berpendapat, “Tidak hanya membuat kondisi penderita penyakit mental lebih parah, perubahan iklim juga memicu terbentuknya gangguan mental tersebut dalam otak manusia."
Van Susteren menjelaskan hubungan antara perubahan iklim dan kesehatan mental pada 16 Februari kemarin di acara "Climate and Health Meeting". Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh sejumlah pakar dari beberapa institusi kesehatan dan institusi pendidikan di seluruh dunia.
Berdasarkan jurnal Science tahun 2013, peningkatan suhu sekaligus curah hujan ekstrem memicu adanya ketidakstabilan pada emosi atau suasana hati manusia.
Hal tersebut pasalnya mengundang konflik antar manusia, membuat mereka lebih mudah marah, kecewa dan putus asa. Amarah tercipta lantaran tingkat adrenalin dalam tubuh meningkat seiring dengan naiknya suhu.
Advertisement
Melahirkan anak yang depresi
Selain memicu amarah dan bentuk emosi yang tergolong agresif, perubahan iklim juga bisa memicu peradangan saraf yang membuat kinerja otak melemah dan tidak efektif.
“Lalu polusi udara akibat kenaikan suhu juga meningkatkan risiko seseorang mengalami masalah neurologis atau gangguan saraf dan juga kejiwaan,” ujarnya.
Ketika menghirup udara yang sudah terpolusi, partikel beracun akan memasuki otaknya dan memicu peradangan saraf.
“Peradangan saraf kerap kali berujung menjadi penyakit alzheimer dan gangguan kognitif bersifat permanen,” ucap Van Susteren.
Selain itu, laporan dari American Psychological Association juga menunjukan fakta bahwa wanita hamil yang terkena polusi udara kemungkinannya sangat besar melahirkan anak yang depresi dan suka mengalami kecemasan berlebih.