Liputan6.com, Jayapura - Walau hampir seluruh gunung dan tanah di pelosok Papua mengandung emas, untuk menuju sumber emas butuh perjuangan keras.
Misalnya, untuk tembus ke Degeuwo yang terletak di Kabupaten Paniai yang terkenal dengan kilauan emas terbaiknya, pendulang harus menyewa helikopter seharga Rp 50 juta untuk sekali jalan. Muatan helikopter itu pun tak boleh lebih dari 1.000 ton.
Ada juga sebutan untuk heli gado-gado. Artinya, helikopter ini disewa dengan cara dibayar patungan. Satu kilogramnya dihargai Rp 50 ribu dan satu orang biasanya tak boleh melebihi dari 100 kg.
"Heli gado-gado biasa disewa empat-lima orang saja. Satu hari, helikopter bisa terbang hingga delapan-sepuluh kali pulang-pergi Nabire-Degeuwo dengan jarak tempuh 30 menit perjalanan udara," kata Ketua Dewan Adat Papua wilayah Mepago John Gobay ketika ditemui di Jayapura.
Daerah Degeuwo terletak di celah bukit, tebing terjal dan gunung. Lokasi tambang yang saat ini dikelola tak lebih dari lima perusahan emas itu bisa juga dilalui dengan berjalan kaki dua hari satu malam dari Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai.
Baca Juga
Advertisement
Tak hanya ke Degeuwo, di lokasi tambang yang terletak di Kabupaten Keerom, yang terletak di perbatasan Papua dan Papua Nugini, pendulang harus menempuh perjalanan dengan jalan darat sekitar tujuh jam perjalanan dari ibu kota Kabupaten Keerom.
"Jalannya hancur, kalau hujan lumpur berdebu. Tapi ya karena untuk urusan perut, banyak warga juga yang datang ke sana," ujar Herman Yoku, salah satu Ondoafi (kepala suku) di Kabupaten Keerom.
Biasanya warga datang berkelompok. Satu kelompok biasanya 5-7 orang dan para pendulang emas itu bisa bertahan di daerah tambang itu paling cepat seminggu hingga satu bulan. Para pendulang itu mendirikan tenda-tenda di lokasi tambang hanya untuk beristirahat dan tidur.
"Jika turun ke kota, hanya untuk kepentingan menjual emas hasil dulangannya. Per gram biasanya dihargai Rp 500 ribu. Setiap harinya pendulang bisa mendapatkan 5-10 gram. Tinggal dikalikan saja, jika mereka membawa turun emas itu satu bulan dan dijual ke kota," tutur dia.
Bagi Hasil Emas Papua
Dari delapan maskapai yang pernah beroperasi di daerah tambang wilayah Mepago ini, saat ini hanya tersisa tiga maskapai penerbangan dengan helikopter jenis Bell dan Bolco. Dalam satu kali terbang dari Nabire-Degeuwo, helikopter harus membayar Rp 500-600 ribu kepada pemilik hak ulayat tanah di Degeuwo.
"Jika dalam satu hari bisa terbang 8-10 kali, dikalikan Rp 500 ribu, dikalikan lagi 25-28 hari, masyarakat setempat bisa mendapatkan penghasilan Rp 140 juta per bulannya," kata Gobay.
Pola bagi hasil antara pemilik hak ulayat tanah ataupun bagi hasil dengan perusahaan penerbangan dan perusahaan tambang emas di setiap wilayah berbeda.
"Kalau untuk pemasukan bagi pemerintah, peningkatan PAD, tambang-tambang emas ini belum ada kontribusinya, walaupun perusahaan ini membayar pendapatan negara bukan pajak (PNBP)," ucap dia.
Lalu, ada juga tambang emas di Nafisi, Kabupaten Nabire. Dari sejumlah perusahaan emas yang beroperasi di tambang rakyat di Papua, hanya Perusahaan Tunas Anugerah Papua Holding Company yang merealisasikan bagi hasil dan berkontribusi secara transparan kepada masyarakat setempat.
Di Nafisi, setiap bulannya 133 kepala keluarga (KK) bisa mengantongi Rp 5-10 juta dari bagi hasil dengan perusahaan, belum termasuk pembagian sembako dan pengobatan gratis.
"Perusahaan ini mulai beroperasi tahun 2015 dan hanya ada satu perusahaan di sana. Mereka berlaku adil dengan pemilik ulayat tanah. Masyarakat senang juga jika saling menghormati dan tak pernah ada gejolak di sana," ucap Gobay.
Kesepakatan bagi hasil antara perusahaan dan pemilik hak ulayat tanah tak selamanya berjalan dengan baik. Pembagian bagi hasil dengan perusahaan penerbangan di Degeuwo, misalnya, dikelola oleh kepala suku ataupun kepala kampung di daerah itu. Namun, ada dugaan sampai saat ini pembagian itu tak sampai kepada masyarakat setempat.
"Dulu kami pernah diminta untuk menjadi perantara pembagian bagi hasil transportasi ini. Namun kami tak berani karena menyangkut uang banyak dan banyak pula kepentingannya. Yang saya dengar, dana bagi hasil itu tak menetes baik ke warga sampai saat ini," ucap Gobay.
Begitu pun di daerah tambang emas Topo di Kabupaten Nabire. Setiap bulan beberapa perusahaan di sana memberikan dana bagi hasil ke kepala suku. Pembagian itu dengan maksud agar pembagiannya dapat merata ke warga di sana. Namun kenyataannya, dana itu juga tak tersalurkan dengan baik hingga ke masyarakat.
Advertisement