Liputan6.com, Bandung - Tren big data diprediksi di Indonesia diprediksi meningkat dalam 2-3 tahun mendatang. Sayangnya, peningkatan tren ini tak diimbangi dengan jumlah data scientist di Tanah Air.
Ditemui di Bandung, Rabu (22/2/2017), menurut Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Dimitri Mahayana, Indonesia masih terbilang pemula dalam ranah big data. Namun, Amerika Serikat (AS) yang sudah lebih dulu mengadopsi big data juga malah kekurangan data scientist.
"Permintaan data scientist membludak seiring dengan meningkatnya big data. Jadi perusahaan kekurangan sumber daya manusia yang tepat," kata pria yang juga dosen di Sekolah Teknik Elektro Informatika ITB ini.
Baca Juga
Advertisement
Berdasarkan survei Sharing Vision di Indonesia pada 2016, sebanyak 74 persen responden berminat mengadopsi big data. Tak satu pun yang meragukan potensi keberhasilan big data dalam menunjang pengambilan keputusan.
Namun, sebanyak 48 persen responden mengatakan kendala utama adopsi big data adalah sumber daya manusia (SDM). Kemampuan yang paling dibutuhkan dalam mengadopsinya adalah big data analytic.
Di AS, McKinsey Global Institute dan McKinsey's Business Technology Office memprediksi pada 2018, pasokan data scientist negara adidaya tersebut hanya memenuhi 50-60 persen permintaan. Pada 2018, data scientist di AS diprediksi hanya mencapai 190.000 orang.
Yang menjadi masalah, lanjut Dimitri, sebanyak 12 persen pimpinan perusahaan tidak mengerti cara menganalisis big data. Sekitar 10 persen perusahaan kekurangan data scientist dan 86 persen perusahaan mencari data scientist yang tepat.
Di Negeri Paman Sam tersebut, data scientist digaji sebesar US$ 111.000, jauh lebih tinggi dibanding data analyst yang mencapai US$ 70.000.
Pasar big data di dunia diprediksi mencapai US$ 70 miliar dengan pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 17 persen. Pada 2018, sebanyak 20 persen keputusan perusahaan akan dilakukan oleh mesin.
Pemicu tingginya pertumbuhan big data di antaranya adalah satu dari tiga pemimpin perusahaan tidak percaya terhadap informasi yang digunakan untuk pengambilan keputusan. Selain itu, kualitas data yang buruk membuat tidak efisien.
"Di AS, kualitas data yang buruk menghabiskan US$ 3,1 per tahun," pungkas Dimitri.
Perlu diketahui, data scientist merupakan orang yang bertugas mengembangkan dan merencanakan kebutuhan proyek analitik dalam menjawab kebutuhan bisnis.
(Msu/Cas)