Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) melakukan uji publik terhadap Rancangan Peraturan Menteri (RPM) terkait seleksi pengguna pita frekuensi 2,1 GHz dan 2,3 GHz, sebelum disahkan menjadi Peraturan Menteri (Permen).
Tujuannya adalah untuk mendapat masukan dari masyarakat dan para pemangku kepentingan. Penetapan pemenang lelang diharapkan sudah dapat diketahui pada Juni 2017. Menanggapi hal itu, Komisioner Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, S.E menyambut dengan baik.
Akan tetapi, Alamsyah berpesan kepada pemerintah dalam melakukan lelang frekuensi, khususnya di 2,3 GHz. Kemkominfo diminta harus mempertimbangkan rekomendasi atau anjuran yang diberikan Ombudsman kepada PT Corbec Communication.
Baca Juga
Advertisement
Rekomendasi Ombudsman tersebut adalah Kemkominfo harus memberikan penomoran/ kode akses ke Corbec dan menjamin interkoneksi.
Selain itu, Kemkominfo diminta untuk menerbitkan izin pita frekuensi di spektrum 2,3 Ghz dengan lebar pita minimal 15 Mhz kepada Corbec, pada blok pita yang tidak terpecah. Dimulai dari frekuensi 2.300 Mhz hingga 2.315 Mhz.
Lebih lanjut, Kemkominfo juga diminta untuk melakukan evaluasi kinerja pada Corbec dalam menjalankan kewajibannya serta mengenakan pencabutan izin pita frekuensi jika perusahaan tak berhasil memenuhi kewajibannya.
“Seharusnya Kemkominfo dapat berkomunikasi dengan Corbec untuk mencari jalan keluar yang terbaik sehingga masalah ini terselesaikan. Kemkominfo bisa mengikuti rekomendasi yang diberikan Ombudsman atau alternatif lain," kata Alamsyah melalui keterangan tertulisnya, Jumat (24/2/2017) di Jakarta.
Jika pemerintah bisa memfasilitasi Corbec untuk masuk ke dalam perusahaan konsolidasi Broadband Wireless Acces (BWA), menurutnya itu juga hal yang baik.
Dalam dokumen uji publik mengenai tata cara lelang frekuensi 2,1 Ghz dan 2,3 Ghz pasal 7 huruf 1 tertulis, peserta seleksi hanya dapat memenangkan pita frekuensi radio 2,1 GHz atau pita frekuensi radio 2,3 GHz.
Mengenai aturan yang tertuang pada tata cara lelang frekuensi 2,1 Ghz dan 2,3 Ghz itu, Alamsyah tidak sependapat.
Tidak Sesuai Regulasi
Menurut Alamsyah, jika Kemkominfo berpendapat bahwa lelang frekuensi ditujukan untuk menjawab isu kapasitas, seharusnya Kemkominfo maupun Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) tidak boleh membatasi operator yang benar-benar membutuhkan frekuensi untuk ikut dalam lelang tersebut.
“Aturan mengenai peserta seleksi hanya dapat memenangkan pita frekuensi radio 2,1 GHz atau pita frekuensi radio 2,3 GHz itu tidak ada dalam regulasi dan perundang-undangan. Dengan demikian, Kemkominfo tidak boleh membuat aturan itu,” papar Alamsyah.
Jika pemerintah ingin membatasi operator yang utilisasinya rendah untuk ikut lelang, seharusnya pemerintah bisa membuat kreteria operator mana saja yang boleh ikut. Pasalnya, frekuensi merupakan barang publik dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk pelayanan publik, maka peserta yang boleh mengikuti lelang adalah operator yang kapasitasnya sudah mendekati maksimal.
“Aneh jika pemerintah membatasi operator yang boleh ikut lelang. Seharusnya pemerintah main di kreteria atau evaluasi saja. Tidak boleh membatasi operator yang membutuhkan frekuensi untuk ikut tender di kedua blok yang akan dilelang tersebut,” ujar Alamsyah.
Alamsyah menilai, sampai saat ini masih banyak operator telekomunikasi yang utilisasi frekuensinya rendah. Agar utilisasi operator tersebut tinggi, Ombudsman mendesak pemerintah untuk dapat bertindak tegas kepada operator telekomunikasi untuk dapat memenuhi semua komitmen pembangunan yang telah disepakati dalam modern licensing telekomunikasi.
Ombudsman juga akan mendesak Kemkominfo untuk membuka data progres komitmen pembangunan seluruh operator.
Jika komitmen pembangunan dianggap rahasia perusahaan, Ombudsman meminta agar data yang dibuka tidak terlalu rinci. Misalnya, perkembangan pembangunan masing-masing operator di setiap Kabupaten Kota yang mereka bangun.
(Isk/Cas)
Advertisement