Liputan6.com, Canberra - Dampak negatif yang ditimbulkan akibat merokok membuat pemerintah sejumlah negara dunia mencoba mengurangi kebiasaan itu di kalangan warganya. Sejauh ini, upaya yang dilakukan memberi hasil yang beragam.
Baru-baru ini, sebuah penelitian di Australia menemukan cara tepat guna untuk mengurangi kebiasaan tersebut.
Dikutip dari New Scientist pada Sabtu (25/2/2017), penelitian tersebut menengarai bahwa pembuatan bungkus yang serupa untuk semua merek rokok dapat mengurangi kebiasaan tersebut.
Bungkus yang sama mengurangi rasa ingin merokok, yang biasanya dikaitkan dengan merek tertentu. Kondisi tersebut diklaim bisa mendorong pengurangan merokok.
Baca Juga
Advertisement
Australia adalah negara pertama yang menerbitkan legislasi tentang bungkus rokok pada Desember 2012. Sejak saat itu, semua rokok yang beredar dijual dalam bungkus polos berwarna zaitun, dengan jenis huruf standar dan gambar peringatan yang mengerikan.
Tujuannya adalah untuk membuat merokok kurang menarik, sehingga mencegah orang melakukannya bahkan sejak pertama kali.
Antara 2010 dan 2013, proporsi perokok harian di Australia turun dari 15,1 ke 12,8 persen. Penurunan itu merupakan rekor.
Jumlah panggilan telepon ke nomor pertolongan untuk berhenti merokok malah bertambah 78 persen, sejak perubahan kebijakan di Australia itu diberlakukan.
Menghapus Identitas Merek
Menurut Hugh Webb dari Australian National University di Canberra, turunnya popularitas merokok sebagian dapat dijelaskan dengan hilangnya rasa kedekatan dengan merek.
Orang mengembangkan rasa memiliki dan identitas dari merek-merek, katanya lagi.
Misalnya, dalam dunia komputer, orang bisa menyebut dirinya "seorang Mac" atau "seorang PC". Lagipula orang merasa memiliki kaitan dengan yang lain akibat memilih merek yang sama.
"Para pelaku pemasaran sangat cerdas untuk urusan pengembangan identitas merek tersebut."
Iklan tembakau dilarang di Australia sejak 1992, sehingga satu-satunya cara memajang stereotip suatu merek adalah dengan menggunakan jenis huruf (font) dan gambar tertentu pada bungkus rokok agar menarik minak kelompok tertentu.
Menurut penelitian Webb, sejak kewajiban bungkus polos diterapkan, identitas merek dan stereotip positif tentang merek itu sangat menurun. Sebab orang menjadi tak tertarik.
Webb dan rekan-rekannya menanyai 178 perokok, tak lama setelah kebijakan bungkus diterapkan dan dilakukan lagi 7 bulan kemudian. Hasil temuannya, para perokok menjadi semakin tidak condong kepada merek tertentu setelah perubahan kebijakan.
Para perokok juga berkurang kemungkinannya untuk menilai perokok merek tertentu dengan sifat-sifat positif, semisal rasa trendy ataupun keunikan cita rasanya.
Hilangnya identitas merek juga memiliki korelasi dengan pengurangan merokok dan peningkatan niat untuk berhenti merokok.
Webb menjelaskan, "Kita biasanya menduga bahwa dorongan utama orang merokok adalah ciri kepribadian seseorang ataupun faktor-faktor biologis lain."
"Tapi pandangan itu meremehkan daya simbolis suatu identitas dan stereotip merek dalam meneruskan kebiasaan merokok."
Simon Chapman dari University of Sydney mengatakan, sejauh ini bungkus polos telah bekerja dengan baik untuk mengurangi jumlah perokok. "Hal itu mengurangi kemampuan perusahaan rokok untuk membujuk orang, bahwa pembelian merek X akan memberikan semua kualitas menarik kepada mereka."
Menurut penelitian tersebut, peringatan bahwa bungkus polos bisa meningkatkan pemalsuan rokok dan memicu penyelundupan ternyata tidak terbukti. "Sejauh ini kami tidak melihat ada kerugian apapun," Kata Webb.
Advertisement