Liputan6.com, Jakarta - Banjir sudah berabad-abad lalu mendatangi Jakarta, tepatnya sejak masa Tarumanegara di abad ke V M. Kala itu daerah di pinggir Sungai Ciliwung, yang menjadi cikal-bakal Jakarta, tergenang air yang meluap.
Tata kota DKI Jakarta sudah dinilai sangat buruk sejak pendatang asing datang ke muara Ciliwung, yang pada saat itu bernama Jayakarta. Terbukti pada musim hujan Sungai Ciliwung tak mampu menampung debit air. Banjir saat musim hujan, dan kering saat kemarau seolah menjadi penyakit Ciliwung.
Advertisement
"Padahal, sungai yang baik itu yang alirannya stabil," ucap Sudirman Asun, aktivis Ciliwung Institute, kepada Liputan6.com melalui sambungan telepon, Kamis (23/2/2017).
Menurut Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun, Jakarta terbentuk karena endapan lumpur dari pegunungan berapi di wilayah selatan. "Betul, Jakarta adalah daratan aluvial (endapan) berbentuk kipas yang muncul akibat hujan tropis yang membawa endapan lumpur," ujar JJ Rizal, sejarawan, kepada Liputan6.com, Senin (27/2/2017).
Rizal menambahkan, Jakarta sejatinya kota air. Sebab, Jakarta dahulu adalah dataran rendah rawa-rawa yang berada di pinggir dataran aluvial. Menurut Rizal, sejak zaman Kerajaan Tarumanagara, Raja Purnawarman ialah raja yang mengajari pengelolaan air.
"Jakarta (adalah) kota air dan rajanya sendiri mengajari (cara) mengelola air," ujarnya.
Direktur Komunitas Bambu ini mengatakan sejak VOC datang, konsep tata kota diurus secara salah dan tidak tepat. Hal ini mengakibatkan bencana ekologi karena Belanda turut memaksakan tata kota ruang Eropa masuk ke dalam daerah tropis di Timur.
Maksudnya, Belanda menyuguhkan lokasi tempat tinggal yang berada di tepi kali karena dianggap lebih nyaman dan bergengsi. Bangunan ini biasanya berlantai satu atau dua serta dinding sampingnya menempel dengan bangunan di sebelahnya. Hampir serupa dengan kondisi rumah-rumah yang dibangun di atas atau di pinggiran bantaran kali di Jakarta.
JJ Rizal juga mengakui bahwa VOC sengaja membuat bangunan-bangunan di tepi kanal atau pinggiran kali besar di Jakarta.
"Iya, lihat saja di kota tua berada di tepian mulut Sungai Ciliwung," jelas dia.
Pada 1612, menurut tulisan karya Siswadhi tentang "Sejarah Banjir di Jakarta" yang pernah dimuat dalam Intisari edisi Maret 1982, terdapat sebuah gedung yang berfungsi sebagai gudang sekaligus kantor pusat pertemuan kapal-kapal Belanda dan pusat perdagangan. Belanda membelah Batavia dengan kanal-kanal maupun terusan-terusan sungai yang digali yang dimaksudkan sebagai drainase dan lalu lintas air. Selain itu, juga sebagai benteng pertahanan pada tiap wilayah.
Ketika VOC berkuasa, ada 16 terusan di Batavia, termasuk Tijgergracht, Garnalengracht, Moorschegracht. Pendangkalan mulai terjadi akibat endapan lumpur yang dibawa dari pegunungan. Ditambah dengan meletusnya Gunung Salak pada 1669. Maka, pemerintah melakukan langkah pengerukan dengan harapan aliran air kembali lancar.
Pada pertengahan abad ke-17, terusan diperluas hingga ke sungai-sungai di luar Kota Batavia.
Hal ini penting sebagai upaya agar ladang tebu serta pengairan sawah di luar kota mendapatkan air dengan baik. Sebab, pada musim kemarau, Sungai Ciliwung tidak memiliki air yang mumpuni.
Letusan Gunung Salak Mengirimkan Lumpur
Pada 1699 Jayakarta mengalami musibah dengan dampaknya letusan dari Gunung Salak. Tata air ibu kota saat itu tidak berfungsi dengan baik meskipun pembuatan terusan-terusan dan saluran air berguna untuk pertahanan kota, pertanian dan lalu lintas air.
Akibat dari letusan Gunung Sajak, banjir lumpur datang dari pegunungan. Pada saat itu, selain hujan abu yang lebat, semua jalan air tersumbat lumpur.
Selain kanal yang tak berfungsi akibat endapan lumpur, proses pembabatan hutan di tepian sungai dan pembuangan ampas limbah pabrik gula menjadi alasan utamanya.
"Sesungguhnya penyebab utama kehidupan di kota benteng Batavia jadi tidak sehat adalah pembabatan hutan di tepian Ciliwung yang dijadikan lahan kebun tebu, juga pabrik gula yang membuang limbahnya ke sungai," ujar JJ Rizal.
Sesudah letusan Gunung Salak, proses keadaan garis pantai bertambah sekitar 75 meter ke arah laut dalam waktu sebulan. Hal ini mengakibatkan keadaan drainase bermasalah. Jika musim kemarau, jalan air dibersihkan dari lumpur yang mengering.
Namun saat musim hujan tiba, banjir mulai datang dan lumpur menjadi penyebab sumbatan di tiap aliran air. Proses pengerukan yang dilakukan untuk mengatasi masalah banjir justru hanya bertahan beberapa tahun saja.
Advertisement
Ampas Tebu Dibuang ke Sungai
Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1618-1623 dan 1627-1629, Jan Pieterszoon Coen atau JP Coen, membayangkan Batavia menjadi kota yang ideal dan martabat. Bahkan, JP Coen adalah penggerak bagi pembangunan tata kota di Batavia.
Namun pada abad ke 18, orang-orang Cina membuat pabrik gula di luar Kota Batavia. Limbahan pabriknya dibuang begitu saja melalui aliran air ke sungai.
Adapun produk dari limbahan pabrik tebu ialah ampas tebu. Terusan yang dibuat Belanda membuat banjir mengintai dan menyebabkan endapan lumpur.
Endapan di sungai semakin bertambah dan menyebabkan pendangkalan yang semakin parah di terusan-terusan sungai. Limbah yang mengendap ini terhenti dan menyumbat aliran air.
Akibatnya, limbah berbau busuk dan menyebabkan sarang nyamuk malaria. VOC mengambil langkah bijak agar aliran air terbebas dari lumpur dengan menggunakan alat pengeruk mekanik. Namun, alat pengeruk tersebut kurang berhasil.
Pada 1700, VOC mengirim tenaga kerja rodi dari daerah Ciasem, Pemanukan, Karawang dan Cirebon guna membantu sekitar wilayah benteng Batavia dan terusan pelabuhan. Sedangkan untuk terusan dari wilayah lain diurusi oleh penduduknya masing-masing.
Namun, lumpur kiriman dari letusan Gunung Salak dan endapan dari ampas tebu justru membuat aliran air tidak berfungsi dengan baik. Sejak sarang nyamuk malaria berkembang, para pegawai muda dari VOC yang baru menetap di Batavia mulai terjangkit penyakit malaria.
Banyak orang Belanda yang tewas begitu saja. Banyaknya jumlah orang Belanda yang tewas membuat ibu kota pada saat itu menjadi kuburan orang-orang Belanda atau disebut dengan Graf der Hollanders.
Ibu kota yang terletak di dataran rendah dengan sebagian wilayah di bawah permukaan air laut hingga tata kelola konial yang salah membuat perlu adanya tindakan radikal. Hal ini ditegaskan oleh JJ Rizal, "Kita perlu melakukan tindakan-tindakan radikal memulihkan ekologi Jakarta."
Bisakah Banjir Hilang dari Jakarta?
Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Syaiful Hidayat dalam sebuah wawancara dengan media mengatakan satu-satunya cara untuk mengatasi banjir adalah melakukan normalisasi sungai. Selain itu, ia menyebut limpahan air dari Bogor tak terbendung karena sungai yang menyempit akibat masih banyaknya permukiman di pinggir sungai.
Sudirman Asun mengatakan, pemerintah seharusnya menata dan bukannya menggusur. Program normalisasi sungai pun harus dibuat dengan melibatkan warga yang bermukim di pinggir sungai.
"Seperti warga di Kampung Tongkol itu saya kira bagus. Warga diajak berembuk untuk menata. Sebab, sungai kan harus memberi kehidupan di semua tempat yang dilaluinya," ujarnya melalui sambungan telepon.
Asun mengatakan, wilayah sempadan sungai seharusnya 15 meter dari tepi sungai, yang diatur lebih detil dalam PP 38 Tahun 2011. Namun, regulasi ini banyak dilanggar dan menjadi pembenar bagi pemerintah untuk melakukan penggusuran. Asun berujar sesungguhnya pemerintah sendiri yang membiarkan adanya permukiman di pinggir sungai.
"Sampai mereka punya surat tanah seperti girik dan verponding. Mereka juga banyak yang tinggal hingga puluhan tahun di pinggir sungai," ujarnya.
Tanpa adanya tata kelola air yang benar dari hulu hingga hilir, mustahil banjir di Jakarta bisa teratasi. "Normalisasi itu tidak menghilangkan banjir. Normalisasi hanya memindahkan banjir dari satu tempat ke tempat yang lain," ucap Asun.
Dibanding buru-buru mengalirkan air hujan menuju laut, Asun menyarankan air hujan ditampung dan diresapkan. Selain memperbanyak Ruang Terbuka Hijau (RTH) hingga 30 persen sesuai amanat undang-undang, ia menyarankan program biopori digalakkan kembali.
"Di luar negeri sendiri sudah dilakukan masyarakat berbagi ruang dengan air dan melakukan investasi tanaman," tuturnya.
Sumur resapan yang ditawarkan Asun dan kawan-kawan bisa membuat air permukaan Jakarta semakin sedikit. Namun kekeliruan kerap terjadi saat memilih tempat pembuatan sumur.
"Selama ini biopori dibuat di jalan-jalan. Itu salah. Sebab, air yang menggenang di jalan biasanya sudah banyak lumpur dan kotor, sehingga membuat saringannya terhambat. Akibatnya biopori pun jadi rusak," ujar Asun.
"Seharusnya dibuat di pekarangan, di bawah talang-talang air karena airnya masih bersih. Dan untuk itu pemerintah seharusnya lakukan pembinaan. Rumah-rumah yang punya biopori itu, per RT, per RW, harusnya diberikan insentif," dia menegaskan.
Upaya memanen air hujan rupanya sudah dilakukan JJ Rizal, sejarawan Betawi, di rumahnya yang rindang di Beji Timur. Depok. Dalam satu kesempatan, ia menyebut sungai dengan orang Betawi sudah seperti saudara. Hal ini salah satunya terungkap dari banyaknya mitos yang berkaitan dengan sungai dalam masyarakat Betawi. Bahkan, roti buaya sebagai perlambang kesetiaan dalam masyarakat Betawi pun hadir dalam upacara perkawinan adat Betawi.
Di rumahnya, air hujan ditampung melalui talang yang kemudian mengalir ke kolam ikan. "Air tak ada yang terbuang," JJ Rizal menjelaskan.
Bahkan, JJ Rizal juga menawarkan konsep rumah panggung. Ini, menurut Asun, sesuai dengan ilmu mitigasi bencana. "Banjir datang, kita siap," ucap Asun.
Asun mengingatkan, di Jakarta banjir adalah sebuah keniscayaan. Tanpa adanya pengaturan tata kelola dan tata ruang berkesinambungan dari hulu di Bogor hingga hilir, ditambah beban Jakarta sebagai ibu kota, banjir tak mungkin hilang dari Jakarta. (Fitra Hasnu)
Advertisement