Liputan6.com, Jakarta - Nama Salman Nuryanto mendadak jadi sorotan publik. Bukan karena namanya mirip dengan Raja Arab Saudi yang sehari lagi akan berkunjung ke Indonesia, melainkan kasus dugaan investasi bodong Koperasi Pandawa Mandiri Group yang dipimpinnya.
Siapa yang menyangka, pria yang kerap berpenampilan bak raja kala memimpin Koperasi Pandawa ini, dulunya merupakan tukang bubur. Nuryanto terlihat begitu berwibawa setiap kali mengenakan setelan jubah putih dipadu rompi hitam dan ditambah kain serban putih melingkar di kepalanya.
Advertisement
"Dia jualan bubur dari gang ke gang," ujar Haryanto, anak salah satu pemilik rumah kontrakan yang pernah disewa Nuryanto.
Pada 1997, Nuryanto hijrah dari kampungnya di Jawa Tengah ke Depok, Jawa Barat dan mulai berjualan bubur ayam dengan cara memikul dagangannya.
Pada 2010, bisnisnya mulai berkembang pesat. Nuryanto yang telah memiliki gerobak dengan diberi nama 'Bubur Pandawa' tak lagi berkeliling. Bahkan pada tahun yang sama, ia telah memiliki enam cabang 'Bubur Pandawa' di kawasan Depok dan sekitarnya.
Singkat cerita, Nuryanto memiliki ide mendirikan sebuah koperasi dengan mengumpulkan para pedagang bubur sebagai anggotanya. Bisnis Nuryanto pun merambah ke investasi yang ditujukan untuk mendanai para pengusaha kecil dan menengah.
Dengan iming-iming keuntungan sebesar 10 persen, bisnis investasi Nuryanto berkembang pesat. Dari mulut ke mulut informasi ini berkembang luas dan mendatangkan ribuan investor dari berbagai daerah.
Namun pada 2016 bisnis investasi mulai bermasalah. Keuntungan 10 persen untuk para investornya macet. Kecurigaan sebagai investasi bodong pun mengemuka. Apalagi praktik penghimpunan dana investasi di koperasi tak dibenarkan.
"Dalam perjalanan (bisnis investasi) banyak kemacetan, sehingga timbul masalah," ucap Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Wahyu Hadiningrat.
Kasus ini pun mencuat setelah 173 nasabah Koperasi Pandawa melaporkan Nuryanto atas dugaan penipuan berkedok investasi ke Polda Metro Jaya. Sejak saat itu, beberapa laporan serupa kerap diterima penyidik Polda Metro Jaya.
Hingga akhirnya, polisi menetapkan Nuryanto sebagai tersangka pada Jumat 10 Februari 2017. Namun saat itu polisi belum mengetahui keberadaannya. Nuryanto pun menjadi buronan.
Sempat mangkir dua kali dari pemeriksaan polisi, Nuryanto akhirnya ditangkap dari tempat persembunyiannya di kawasan Mauk, Tangerang, Banten pada Senin 20 Februari 2017 dinihari. Nuryanto tak sendiri, dia ditangkap bersama tiga anak buahnya, Subardi, Taryo, dan Madamine.
Saat ditangkap, penampilannya jauh dari kesan mewah. Nuryanto tak terlihat lagi berwibawa kala digiring polisi dengan mengenakan baju tahanan, celana pendek, dan tanpa alas kaki.
Dua hari kemudian, polisi menangkap istri pertama, istri kedua, serta bapak mertua Nuryanto. Ketiganya diduga terlibat dalam pengendalian bisnis investasi bodong Koperasi Pandawa. Mereka juga menikmati aset yang didapat dari bisnis itu.
Tujuh tersangka lainnya ditangkap pada Sabtu dan Minggu 25 dan 26 Februari kemarin. Ketujuh orang masing-masing berinisial RS, YM, TH, RMK, AK, RF, dan VL berperan sebagai leader dalam bisnis investasi bodong ini.
"Jadi total sudah 14 tersangka yang ditangkap," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono.
Sejauh ini, polisi telah menyita sejumlah aset berupa 10 sepeda motor, 13 mobil, delapan sertifikat tanah, dan tiga rumah. Tak menutup kemungkinan jumlah aset yang disita dari hasil kejahatan ini akan terus bertambah.
Total sementara kerugian akibat bisnis investasi bodong Koperasi Pandawa ini, menurut polisi, mencapai Rp 1,1 triliun. Angka itu dipastikan akan terus bertambah mengingat jumlah nasabah secara keseluruhan mencapai ratusan ribu orang. Sementara yang telah melapor ke polisi baru sekitar 1.400 nasabah.
Akibat perbuatannya, Nuryanto cs dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 372 KUHP, Pasal 378 KUHP, Pasal 46 UU RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan Pasal 3, 4, 5, 6 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Mereka diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.